BERITA

Birokrasi Tanpa Dinding: Merajut Sinergi di Era WFA [2]

Penulis: Yudianto, Pranata Komputer Ahli Madya di Biro Umum

Ringkasan Bagian Pertama

Di bagian pertama artikel ini, kita telah melakukan perjalanan reflektif untuk memaknai birokrasi dalam era fleksibel yang kian mendominasi lanskap kerja modern. Kita mendapati bahwa fenomena Work From Anywhere (WFA), meski menjanjikan fleksibilitas, sesungguhnya menghadirkan paradoks yang menantang kohesi dan fondasi sosial birokrasi yang selama ini dikenal. Lebih jauh, kita telah menelaah isu krusial akuntabilitas tanpa tatap muka, menguraikannya bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai momentum strategis untuk transformasi. Pembahasan kita meliputi pentingnya membangun kepemimpinan berbasis kepercayaan di tengah tantangan mentalitas lama, kebutuhan mendesak untuk menata ulang sistem evaluasi kinerja dalam skema WFA, serta langkah-langkah konkret dalam merancang kerangka kerja WFA yang tangguh agar dapat beradaptasi dengan perubahan.

Setelah memahami pondasi dan tantangan awal ini, kini saatnya kita melangkah lebih jauh. Bagian kedua akan membawa kita untuk menyelami lebih dalam aspek-aspek krusial yang membentuk birokrasi modern yang adaptif dan responsif. Kita akan melihat bagaimana elemen-elemen ini tidak hanya mendukung, tetapi juga menjadi pendorong utama bagi evolusi birokrasi menuju masa depan yang lebih dinamis dan efektif.

 

Komunikasi Digital: Senjata Strategis Birokrasi Modern

Dalam sistem kerja yang tersebar, komunikasi bukan lagi sekadar alat tukar pesan, melainkan perekat sistem birokrasi. Tanpa koordinasi yang terstruktur dan efektif, fleksibilitas mudah terjerumus menjadi disorientasi. Karena itu, di era Work From Anywhere (WFA), komunikasi digital tidak cukup dimaknai sebagai sarana administratif—melainkan sebagai senjata strategis birokrasi modern.

Layaknya operasi militer di era cyber-kinetic warfare, kemenangan tidak ditentukan oleh kekuatan tunggal, melainkan oleh kemampuan sinkronisasi lintas domain. Dalam konteks ASN, domain itu mencakup perangkat, platform, struktur organisasi, dan—yang paling penting—relasi antar-manusia dalam jaringan digital.

Terinspirasi dari Faizur et al. (2023), komunikasi digital yang tidak terstruktur dalam skema WFA dapat diibaratkan seperti tentara tanpa radio: bekerja dalam diam, rentan terhadap miskomunikasi, dan kehilangan kesadaran situasional [3].

Agar tidak berubah menjadi kekacauan tersembunyi, sistem komunikasi digital birokrasi harus dirancang tidak hanya fungsional, tetapi juga strategis, empatik, dan berbasis keterikatan. Beberapa elemen krusialnya antara lain:

1. Platform Kolaborasi Terintegrasi

Salah satu kekeliruan umum dalam implementasi WFA adalah membiarkan ASN menggunakan berbagai platform komunikasi secara bebas tanpa pedoman terpadu. Hasilnya, komunikasi menjadi terfragmentasi, file tercecer, dan instruksi saling tumpang tindih.

Untuk itu, pemerintah perlu menetapkan satu atau dua platform utama—seperti Microsoft Teams, Zoom, atau Google Workspace—sebagai standar operasional. Pemilihan ini harus dibarengi dengan pelatihan menyeluruh dan tata kelola teknis yang memastikan interoperabilitas antar-unit.

Faizur et al. (2023) menunjukkan bahwa produktivitas ASN meningkat signifikan ketika sistem kolaborasi digital tidak hanya digunakan saat rapat besar, tetapi diintegrasikan ke dalam siklus kerja harian [3].

2. Protokol Komunikasi yang Jelas dan Hirarkis

Tidak semua pesan memerlukan perlakuan yang sama. Tanpa protokol, ASN dapat kebanjiran notifikasi tanpa arah prioritas. Maka penting untuk menetapkan hirarki media komunikasi, misalnya:

  • Email: untuk dokumen resmi, keputusan struktural, dan korespondensi formal.
  • Chat (WhatsApp, Telegram, Teams Chat): untuk instruksi operasional harian dan permintaan cepat.
  • Rapat Virtual: hanya untuk diskusi strategis, pengambilan keputusan, atau koordinasi lintas unit—bukan untuk briefing rutin yang bisa ditulis.

Protokol semacam ini perlu dituangkan dalam pedoman komunikasi digital internal yang disesuaikan dengan kultur dan struktur masing-masing instansi.

3. Literasi Digital ASN: Bukan Tambahan, Tapi Tulang Punggung

Banyak ASN masih memandang platform digital sebagai alat bantu tambahan, bukan sebagai infrastruktur utama kerja. Akibatnya, potensi fitur penting—seperti task management, auto-scheduling, atau document versioning—sering tak dimanfaatkan.

Pemerintah perlu memperluas pelatihan digital secara sistemik dan berjenjang, mulai dari pemahaman dasar hingga pemanfaatan lanjutan untuk kepemimpinan digital. Seperti dicatat Az’zahra et al. (2024), keterampilan digital bukan lagi pelengkap, tetapi telah menjadi kompetensi inti bagi ASN modern [1].

4. Koneksi Emosional dalam Ruang Virtual

WFA kerap membuat ASN merasa seolah bekerja sendirian di tengah lalu lintas data yang padat. Tanpa interaksi informal, kepercayaan dan kohesi sosial sulit tumbuh. Karena itu, birokrasi modern perlu secara aktif membangun ruang emosional virtual—melalui sesi virtual coffee, permainan daring sederhana, atau check-in mingguan yang membahas keseharian, bukan semata tugas.

Inisiatif seperti ini bukan sekadar gimmick HR. Ia adalah bagian dari strategi komunikasi afektif yang memastikan bahwa keterpisahan fisik tidak menjelma menjadi keterasingan emosional.

Komunikasi digital dalam birokrasi fleksibel bukan hanya tentang teknologi—ia adalah arsitektur sosial. Ketika tembok gedung tidak lagi menjadi batas organisasi, komunikasi menjadi jantung birokrasi yang hidup.

WFA hanya akan berhasil jika komunikasi digital tidak sekadar efisien, tetapi juga manusiawi dan bermakna. Jika dikelola sembarangan, WFA akan memperbesar jarak antarindividu dan melemahkan koordinasi. Namun jika diorkestrasi secara strategis, ia justru bisa memperkuat jejaring, mempercepat keputusan, dan memperkaya relasi kerja lintas batas.

Mengadaptasi peringatan OECD (2023):

Ketika struktur organisasi menghilang dari pandangan mata, komunikasi adalah satu-satunya garis hidup yang tersisa.” [10]

 

Pemimpin Fleksibel, Bukan Fleksibilitas Pemimpin

Di medan kerja yang fleksibel, peran pemimpin tidak lagi identik dengan sosok yang “mengawasi dari dekat”. Ia telah berevolusi menjadi navigator strategis dalam ekosistem kerja yang tersebar, cair, dan terus berubah. Dalam konteks Work From Anywhere (WFA), kepemimpinan tidak ditentukan oleh kehadiran fisik, tetapi oleh kemampuannya membangun kejelasan, kepercayaan, dan koneksi—semuanya melalui medium digital yang terus berkembang.

Mengadaptasi gagasan Faizur et al. (2023), pemimpin yang abai pada komunikasi digital bukan hanya tertinggal, tetapi kehilangan komando [3].

Dari Micromanagement ke Outcome-Based Leadership

Banyak pemimpin birokrasi Indonesia masih terpaku pada paradigma kehadiran: selama ASN terlihat aktif, dianggaplah kinerjanya baik. Namun model ini runtuh total dalam lanskap WFA. Yang dibutuhkan bukan lagi pengawasan mikro, melainkan kepemimpinan berbasis hasil (outcome-based leadership)—menilai kontribusi ASN dari capaian strategis, bukan sekadar rutinitas.

Tiga pilar utama kepemimpinan WFA yaitu kejelasan tujuan dan ekspektasi, umpan balik dua arah dan berkala, serta kepercayaan sebagai modal utama. Tanpa arah yang jelas, fleksibilitas mudah berubah menjadi kebingungan. Umpan balik berkala menciptakan ruang dialog yang memperkuat koneksi profesional dan emosional. Dan pada akhirnya, kepercayaan menjadi mata uang paling berharga dalam ekosistem kerja tanpa pengawasan langsung.

Sebagaimana disoroti oleh Harvard Business Review (2025), dalam tim jarak jauh, kepercayaan telah menggantikan mekanisme kontrol tradisional berbasis kehadiran fisik [4].

Pemimpin sebagai Digital Orchestrator

Di era kerja hibrida, pemimpin harus menjadi arsitek ekosistem digital—yang mampu memilih alat kolaborasi yang tepat, mendesain alur kerja modular, dan menjaga efektivitas komunikasi tanpa menimbulkan digital fatigue. Lebih dari itu, pemimpin juga bertanggung jawab memastikan ritme kerja yang manusiawi, agar fleksibilitas tidak berubah menjadi beban tersembunyi. Di sinilah work-life balance menjadi bagian integral dari kepemimpinan digital: menjaga agar koneksi daring tidak mengikis batas sehat antara waktu kerja dan waktu hidup.

Tanpa kepemimpinan digital, ASN berisiko terjebak dalam banjir notifikasi dan pertemuan daring yang tidak produktif. Pemerintah sendiri mulai mengakselerasi agenda ini. Kementerian PANRB secara konsisten mendorong pentingnya digital leadership. Seperti dikemukakan oleh Menteri Abdullah Azwar Anas (2024), digital leadership harus terus digelorakan karena merupakan prasyarat untuk birokrasi yang cepat dan adaptif [5].

Model serupa mulai diaplikasikan di kementerian teknis. Meski belum semua laporan terkait Program Leadership in Remote Contexts Kemenkeu dipublikasikan, semangatnya sejalan dengan visi SPBE dan transformasi digital. Di sini, kepemimpinan digital bukan pelengkap—tetapi fondasi baru bagi ASN 5.0 yang bekerja dalam ekosistem kerja dinamis, berbasis data, dan berpihak pada keberlanjutan—termasuk keberlanjutan relasi, produktivitas, dan work-life balance.

Empati sebagai Strategi, Bukan Sentimen

Dalam birokrasi yang kerap diasosiasikan dengan formalisme dan kepatuhan prosedural, empati sering disalahpahami sebagai kelembutan yang kontra-produktif. Namun di era kerja fleksibel, empati justru menjadi strategi manajemen krisis mikro.

Ketika interaksi terbatas pada layar, sinyal kelelahan, konflik laten, atau disfungsi tim menjadi jauh lebih sulit dikenali. Karena itu, pemimpin perlu mengembangkan kepekaan emosional—untuk menangkap isyarat stres, mendengar keluhan secara aktif, dan menyediakan ruang sosial yang hangat, meskipun bersifat virtual.

Penelitian Stefan Kloepfer & Claus-Christian Carbon (2025) menekankan peran sentral kepemimpinan empatik dalam membangun kepercayaan di tim jarak jauh:

“Leadership plays an important role in the functioning of remote teams, including creating conditions that can help build trust.”
Kloepfer & Carbon, Journal of Applied Psychology, 2025 [7]

Empati semacam ini bukan simbolik atau kosmetik, tetapi respons strategis yang memperkuat keterlibatan pegawai (employee engagement) dan ketahanan psikologis tim dalam menghadapi tekanan kerja digital.

Kesimpulan: Bukan Pengawas, Melainkan Pengarah dan Transformator

Dalam lanskap birokrasi fleksibel, pemimpin dituntut untuk meninggalkan model lama dan mengadopsi peran baru yang lebih adaptif dan transformatif. Ia bukan lagi pengawas jarak dekat, tetapi pengarah visioner—yang menavigasi organisasi melalui kejelasan tujuan, komunikasi bermakna, dan bangunan kepercayaan yang kokoh.

Ia bukan semata penyampai instruksi, tetapi perancang sistem kerja yang menjembatani ASN lintas lokasi dalam alur kolaborasi yang efisien dan manusiawi. Lebih jauh lagi, ia bukan sekadar penjaga stabilitas, melainkan agen perubahan—yang mampu membaca arah zaman, mengolahnya menjadi peluang, dan menjadikannya lompatan menuju birokrasi yang lincah dan tangguh.

Tanpa pemimpin yang cakap dalam medium digital, WFA berisiko menjadi kebijakan tanpa arah dan tanpa jiwa. Tetapi dengan kepemimpinan yang adaptif, berbasis kepercayaan, dan dilandasi empati strategis, transformasi ini dapat menjelma menjadi standar baru birokrasi: kolaboratif, transparan, dan berorientasi hasil.

 

Birokrasi Tanpa Dinding: Jalan Menuju Pemerintahan Masa Depan

Indonesia kini berada di persimpangan krusial: antara birokrasi konvensional yang rigid dan tata kelola pemerintahan yang adaptif, digital, serta fleksibel. Dalam konteks ini, Work From Anywhere (WFA) bukan sekadar soal bekerja dari rumah atau lokasi non-kantor. Ia merepresentasikan sebuah revolusi kultural—yang menantang cara kita selama ini memaknai produktivitas, kolaborasi, dan kedekatan struktural dalam kerja pemerintahan.

Penelitian Az’zahra et al. (2024) mengonfirmasi bahwa skema fleksibilitas kerja dapat meningkatkan produktivitas ASN—dengan satu prasyarat penting: adanya ekosistem komunikasi yang sehat dan sumber daya manusia yang kompeten serta adaptif [1].

Namun, fleksibilitas bukan tanpa risiko. Jika tidak disertai komunikasi yang terstruktur dan sistem akuntabilitas yang kuat, WFA dapat melahirkan birokrasi yang cair namun kehilangan kohesi; luwes namun tanpa arah. Inilah ironi yang perlu dihindari: ketika fleksibilitas berubah menjadi fragilitas.

Di sinilah komunikasi digital memainkan peran sentral—bukan semata sebagai alat bantu administratif, tetapi sebagai fondasi infrastruktur sosial birokrasi masa depan. Dalam tata kelola yang makin tersebar dan berbasis data, keterhubungan menjadi syarat mutlak, bukan sekadar preferensi. Kejelasan arah, keterbukaan antar-unit, dan rasa saling percaya hanya mungkin tumbuh dalam jaringan komunikasi yang kuat, strategis, dan manusiawi.

Dengan demikian, WFA bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan menuju bentuk birokrasi baru yang lebih responsif tanpa kehilangan arah, lebih manusiawi tanpa kehilangan struktur, dan lebih terhubung tanpa harus selalu hadir secara fisik.

Birokrasi tanpa dinding bukan berarti tanpa batas, tetapi birokrasi yang meruntuhkan sekat-sekat lama demi membangun ruang kolaboratif yang lintas-waktu, lintas-lokasi, dan lintas-generasi. Inilah jalan menuju pemerintahan masa depan: lincah dalam bertindak, terbuka dalam berkomunikasi, dan kokoh dalam menjaga akuntabilitas.

 

Penutup

Fleksibilitas kerja bukan pengganti disiplin, dan digitalisasi bukan jaminan efisiensi. Komunikasi digital adalah benang merah yang merajut kohesi organisasi—tanpa benang itu, kebebasan kerja mudah terurai menjadi simpul kusut yang memutus keseimbangan antara kerja dan hidup (work-life balance).

Di era Work From Anywhere, keterhubungan bukan sekadar soal jaringan atau perangkat, melainkan fondasi kepercayaan dan tanggung jawab yang menopang bangunan birokrasi. Saya percaya, tantangan terbesar bukanlah bekerja dari mana saja, tetapi bagaimana menjaga harmoni dalam orkestra kolektif tanpa harus selalu ada konduktor yang mengawasi.

Birokrasi tanpa dinding bukan sekadar mimpi, melainkan taman yang menunggu untuk ditata dengan keberanian—dari pengawasan menuju kepercayaan, dari kontrol menuju koneksi. Di taman itu, komunikasi digital menjadi akar dan ranting yang menumbuhkan keseimbangan hidup dan kerja, agar keduanya tumbuh bersama secara berkelanjutan.

Mungkin, inilah saatnya kita merenung: bagaimana kita merajut benang-benang itu, agar bukan hanya efisien, tapi juga bermakna bagi setiap insan yang menjalankan roda birokrasi.

 

Referensi

[1] Az’zahra, N. D., Anggodo, S. M., & Salvina, Z. (2024). Analisis Dampak Fleksibilitas Work From Anywhere (WFA) Terhadap Kinerja ASN. Neraca: Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi, 2(5), 427–436. Diakses dari https://doi.org/10.572349/neraca.v2i5.1530
atau https://jurnal.kolibi.org/index.php/neraca/article/view/1530 

[2] Bailenson, J. N. (2021). Nonverbal overload: A theoretical argument for the causes of Zoom fatigue. Technology, Mind, and Behavior, 2(1). Diakses dari https://doi.org/10.1037/tmb0000030

[3] Faizur, M., Khoiriani, A., & Susianti, S. (2023). Pengaruh penerapan skema Work From Anywhere (WFA) di Direktorat Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa. E‑Jurnal Perspektif Ekonomi dan Pembangunan Daerah, 12(1), 1–8. Diakses dari https://doi.org/10.22437/pdpd.v12i1.27939 atau  https://mail.online-journal.unja.ac.id/pdpd/article/download/27939/18600/106828

[4] Harvard Business Review. (2025). Trust is the new control mechanism in remote teams. Harvard Business Publishing, edisi Februari 2025.

[5] Kementerian PANRB. (25 Januari 2023). Menteri Anas Dorong Penguatan 'Digital Leadership' pada Closing Ceremony ASN Culture Fest. Diakses dari https://menpan.go.id/site/berita-terkini/menteri-anas-dorong-penguatan-digital-leadership-pada-closing-ceremony-asn-culture-fest

[6] Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2025). Peraturan Menteri PANRB Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Tugas Kedinasan Pegawai Aparatur Sipil Negara Secara Fleksibel pada Instansi Pemerintah. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/317321/permen-panrb-no-4-tahun-2025

[7] Kloepfer, S., & Carbon, C.-C. (2025). Leadership plays an important role in the functioning of remote teams, including creating conditions that can help build trust. Journal of Applied Psychology.

[8] Kompas.com. (18 Juni 2025). Aturan Baru, ASN Kini Boleh WFA dan Jam Kerja Fleksibel. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2025/06/18/18362931/aturan-baru-asn-kini-boleh-wfa-dan-jam-kerja-fleksibel

[9] Kompas.com. (19 Juni 2025). Ada Kebijakan Boleh WFA, ASN: Bisa Bikin "Work-Life Balance". Diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2025/06/19/13130941/ada-kebijakan-boleh-wfa-asn-bisa-bikin-work-life-balance

[10] OECD. (2023). Government at a Glance 2023. OECD Publishing. Diakses dari https://doi.org/10.1787/9301f5b4-en

[11] Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Touchstone Books/Simon & Schuster. Diakses dari https://doi.org/10.1145/358916.361990   

[12] Schein, E. H. (2010). Organizational Culture and Leadership (4th ed.). Jossey-Bass.

Hastag