Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI melalui Pusat Data dan Teknologi Informasi dan Tim Transformasi Teknologi dan Digitalisasi Kesehatan (Pusdatin-TTDK) menyelenggarakan Lokakarya Implementasi SATUSEHAT untuk Integrasi Data Resume Medis Rawat Jalan Fase 5-6. Kegiatan yang berlangsung pada 22-24 Juli 2025 ini menjadi upaya percepatan pengiriman data laboratorium dan radiologi dari fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) ke SATUSEHAT Platform.
Lokakarya ini menggabungkan metode paparan, simulasi integrasi data (sandbox), diskusi kelompok, dan sesi tanya-jawab. Peserta berasal dari pengembang sistem rekam medis elektronik (RME) yang belum melakukan integrasi data laboratorium dan radiologi. Mereka difasilitasi untuk memahami dan mempraktikkan langsung pemetaan terminologi serta teknis integrasi sesuai standar interoperabilitas Kemenkes RI.
Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemenkes RI, Eko Sulistijo, dalam sambutannya menegaskan bahwa integrasi data laboratorium dan radiologi ke SATUSEHAT Platform merupakan langkah penting dalam transformasi digital kesehatan. “Melalui SATUSEHAT, kita tidak hanya melakukan digitalisasi, tapi juga meningkatkan mutu layanan dan akurasi diagnosis,” ujarnya.
Eko juga menekankan bahwa masih rendahnya proporsi fasyankes yang mengirimkan data laboratorium dan radiologi ke SATUSEHAT Platform, yakni sekitar 10,9%, menjadi tantangan bersama yang perlu segera diatasi. “Ini artinya, perlu ada percepatan adopsi standar interoperabilitas, baik dari sisi teknis maupun klinis,” tambahnya.
Eko berharap lokakarya ini jadi ruang belajar dan kolaborasi antar fasyankes dan pengembang RME. “Semoga forum ini mendorong sinergi untuk mewujudkan ekosistem kesehatan digital yang terintegrasi,” tutupnya.
Penguatan Standar dan Kolaborasi
Ketua Tim Kerja Sistem Informasi Kesehatan Nasional (Timja SIKN) Kemenkes RI, Ismail, S.Kom, mengungkapkan tantangan teknis terbesar saat ini ada pada standardisasi data dan kompleksitas pengiriman data radiologi. Hal ini terutama terkait dengan format Digital Imaging and Communications in Medicine (DICOM).
Ismail menyebut proses pemetaan data ke terminologi internasional seperti Logical Observation Identifiers Names and Codes (LOINC) juga dinilai cukup kompleks. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman klinis, teknis, hingga komitmen jangka panjang.
Variasi penamaan lokal di rumah sakit menjadi salah satu kendala, misalnya perbedaan istilah untuk pemeriksaan gula darah. “Misal, kode untuk pemeriksaan gula darah di satu rumah sakit disebut ‘GD Acak’, di sisi lain ada juga yang mencatatnya sebagai ‘Glucose R’. Perbedaan ini menyulitkan pencocokan otomatis ke kode LOINC yang spesifik,” katanya.
Selain itu, granularitas LOINC kerap tidak cocok dengan detail data dari sistem rumah sakit, ditambah masih rendahnya pemahaman tentang LOINC di kalangan klinisi dan tenaga IT. Oleh karenanya, menjadi penting kolaborasi antara tim teknis dan klinisi sejak awal.
Di sisi lain, Ismail juga menyoroti perlunya perbaikan dokumentasi Application Programming Interface (API), penyediaan alat bantu pemetaan LOINC dan Systematized Nomenclature of Medicine - Clinical Terms (SNOMED-CT), serta peningkatan fungsi helpdesk dan fleksibilitas API, termasuk penanganan batch dan versioning. “Pada akhirnya, komunikasi efektif antar pemangku kepentingan jadi kunci keberhasilan dari upaya integrasi ini,” pungkasnya.
Dorong Pendekatan Bertahap dan Dukungan Teknis
Fasilitator lokakarya dari Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sony Suryadi, menyampaikan bahwa meskipun rata-rata peserta telah memahami alur integrasi secara mendasar, pemahaman soal data laboratorium, radiologi, dan pemetaan LOINC masih sangat terbatas. Oleh karena itu, strategi yang digunakan selama lokakarya mencakup inventarisasi data, pemetaan kolaboratif, dan validasi bertahap.
Sony juga berharap adanya dokumentasi teknis yang lebih lengkap, template pemetaan awal, dan forum komunikasi formal agar proses integrasi lebih terstruktur. “Sehingga, dengan integrasi bertahap dan forum formal akan mempercepat proses yang ada,” katanya.
Di sisi lain, Teguh Irawan, SE, dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Minggu, juga menilai kegiatan ini bermanfaat dalam memahami struktur Fast Healthcare Interoperability Resources (FHIR) dan Representational State Transfer (REST) API.
Ia menyebut peserta cukup akrab dengan konsep teknis, namun klinisi masih belum familiar dengan terminologi LOINC dan SNOMED-CT. “Ini jadi tantangan tersendiri, karena pemetaan tidak bisa hanya dilakukan oleh tim IT,” ujarnya.
Menurut Teguh, pendekatan bertahap dimulai dari pemetaan sederhana sangat membantu, terutama untuk radiologi dan pemeriksaan laboratorium tunggal. Ia juga menekankan pentingnya penggunaan REST API agar proses validasi dan pembaruan kode dapat dilakukan secara near real-time, bukan hanya melalui Excel.
Dengan dukungan teknis yang menyeluruh, strategi bertahap, serta forum komunikasi yang lebih solid, Kemenkes RI optimis integrasi SATUSEHAT dapat berjalan lebih efisien. Evaluasi dan masukan dari berbagai pihak diharapkan mampu memperkuat sistem interoperabilitas dan mempercepat terwujudnya ekosistem kesehatan digital nasional yang berkelanjutan.
Artikel ini disiarkan oleh Pusat Data dan Teknologi Informasi-Tim Transformasi Teknologi dan Digitalisasi Kesehatan (Pusdatin-TTDK), Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Halo Kemenkes melalui Hotline 1500-567 atau email [email protected].
#SATUSEHAT #TransformasiDigitalKesehatan #RekamMedisElektronik #Laboratorium #Radiologi