Kemenkes Perkuat Kapasitas Komunikasi Risiko dalam Merespons KLB dan Wabah
Bogor, 12-13 Desember 2025 — Di tengah derasnya arus informasi dan cepatnya percakapan publik di ruang digital, penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah penyakit tidak lagi hanya soal respons medis. Cara informasi disampaikan, bagaimana pesan diterima masyarakat, serta seberapa besar kepercayaan publik terhadap sumber resmi, menjadi faktor yang sama pentingnya.
Kondisi ini terasa nyata, khususnya di Provinsi Jawa Barat, yang dalam beberapa tahun terakhir kerap menghadapi beragam isu kesehatan yang menyita perhatian publik.
Berangkat dari kebutuhan tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Biro Komunikasi dan Informasi Publik menyelenggarakan kegiatan Penguatan Kapasitas Komunikasi Risiko dalam Merespons KLB dan Wabah.
Kegiatan ini menjadi ruang pembelajaran bersama bagi para pengelola Humas kesehatan di tingkat pusat dan daerah untuk saling berbagi pengalaman, memperkuat pemahaman, sekaligus melatih kesiapsiagaan komunikasi dalam situasi krisis kesehatan.
Dalam sambutannya, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman menekankan komunikasi risiko sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penanganan krisis kesehatan.
“Dalam situasi KLB dan wabah, komunikasi menjadi kunci. Informasi yang cepat, akurat, dan mudah dipahami akan membantu masyarakat mengambil keputusan yang tepat serta mencegah munculnya kepanikan yang tidak perlu,” ujarnya.
Aji juga mengingatkan bahwa komunikasi risiko tidak boleh bersifat reaktif semata. Kesiapan perlu dibangun sejak sebelum krisis terjadi dan terus dilanjutkan hingga fase pemulihan dengan pendekatan transparan dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
Berbagai perspektif lapangan turut mewarnai diskusi dalam kegiatan ini. Agus Salim dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat berbagi pengalaman daerah dalam menangani KLB dan wabah, mulai dari pentingnya deteksi dini hingga koordinasi lintas sektor yang solid. Ia menekankan bahwa konsistensi pesan menjadi kunci ketenangan publik.
“Pengalaman kami di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan informasi yang jelas dan konsisten. Ketika pesan disampaikan dengan sederhana dan seragam oleh semua pihak, respons masyarakat menjadi lebih tenang dan terarah,” ujar Agus.
Dari sisi pengawasan ruang digital, Jawara Wahyu Al Faraday dari Direktorat Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyoroti tantangan penyebaran hoaks kesehatan yang kerap muncul bersamaan dengan situasi krisis.
“Isu kesehatan sangat cepat berkembang di ruang digital. Karena itu, klarifikasi resmi yang cepat dan terkoordinasi menjadi kunci untuk mencegah meluasnya disinformasi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa penanganan hoaks membutuhkan kolaborasi lintas sektor, termasuk patroli siber, pemantauan isu, hingga penguatan literasi digital masyarakat.
Sementara itu, Tim Fasilitator Komunikasi Risiko, Jojo S. Nugroho, menekankan pentingnya pendekatan empatik dalam komunikasi krisis. Menurutnya, keberhasilan komunikasi tidak hanya diukur dari seberapa banyak informasi yang disampaikan, namun juga sejauh mana masyarakat merasa lebih dipahami.
“Dalam krisis, masyarakat tidak hanya mencari jawaban, tetapi juga ingin didengar. Komunikasi yang baik dimulai dari kemauan untuk memahami kekhawatiran publik, lalu merespons dengan empati dan kejelasan,” ungkapnya.
Selain pemaparan materi, kegiatan ini diisi dengan diskusi, studi kasus, dan simulasi penanganan isu berbasis situasi nyata. Selama 2 hari, peserta diajak berlatih menyusun pernyataan kunci, menentukan alur koordinasi komunikasi, serta mengelola narasi lintas kanal secara terpadu agar lebih siap menghadapi berbagai skenario krisis.
Kegiatan ini diharapkan dapat membangun kapasitas komunikasi risiko yang lebih kuat dan berkelanjutan di daerah. Dengan sinergi lintas sektor dan SDM komunikasi yang semakin siap, penanganan KLB dan wabah diharapkan tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga mampu menjaga kepercayaan publik terhadap institusi kesehatan.
