Kemenkes dan WHO Bahas Pembaruan Metodologi SDG 3.8.2 untuk Perkuat Perlindungan Finansial

Jakarta, 28–29 Oktober 2025 – Kementerian Kesehatan melalui Pusat Pembiayaan Kesehatan bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) menyelenggarakan Workshop Pembaruan Metodologi Indikator SDG 3.8.2 di Gama Tower, Jakarta. Kegiatan ini menjadi forum strategis untuk menyamakan pemahaman lintas lembaga terkait metode baru pengukuran perlindungan finansial masyarakat dalam sistem kesehatan.

Workshop dibuka secara resmi oleh Bayu Teja Muliawan, Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Ekonomi Kesehatan, bersama Roderick Salenga, Team Lead Health System WHO Indonesia. Dalam sambutannya, Bayu menekankan pentingnya indikator SDG 3.8.2 bagi Indonesia karena mencerminkan sejauh mana masyarakat terlindungi dari beban biaya kesehatan.

“Indikator ini bukan sekadar angka, tetapi cerminan nyata perlindungan masyarakat terhadap risiko finansial akibat sakit. Pemahaman bersama atas metodologi baru ini penting agar kebijakan perlindungan finansial dapat lebih efektif dan berkeadilan,” ujarnya.

Roderick Salenga menambahkan bahwa kerja sama antara pemerintah dan WHO dalam memperkuat pemantauan perlindungan finansial menjadi langkah penting untuk memastikan “no one left behind” dalam pencapaian Universal Health Coverage (UHC).

Metodologi baru SDG 3.8.2 kini berfokus pada pengeluaran kesehatan yang melebihi 40% dari anggaran diskresioner rumah tangga, menggantikan ambang batas 10% dan 25% pada metode sebelumnya. Pendekatan ini dinilai lebih sensitif terhadap kondisi rumah tangga berpendapatan rendah dan memungkinkan perbandingan antarnegara yang lebih akurat.

Workshop ini dihadiri oleh perwakilan dari Bappenas, Kementerian Keuangan, BPS, BPJS Kesehatan, DJSN, Sekretariat SDG serta mitra pembangunan seperti World Bank, ADB, dan ThinkWell Indonesia. Dari WHO hadir Gabriella Flores-Pentzke Saint-Germain (Senior Health Economist, WHO HQ), Annie Chu (Coordinator Health Policy and Strategy), dan Alia Cynthia Luz (Health Economist) dari WHO WPRO dan tim WHO Indonesia.

Selama dua hari, peserta membahas hasil perhitungan awal Indonesia, tren pengeluaran out-of-pocket, serta arah kebijakan untuk memperkuat perlindungan finansial. Diskusi dalam workshop menyoroti bahwa tantangan utama Indonesia saat ini bukan lagi soal cakupan pembiayaan, melainkan keadilan dan kesiapan layanan kesehatan. Pemerintah telah menanggung iuran bagi masyarakat miskin dan rentan melalui subsidi, namun sebagian masyarakat masih harus mengeluarkan pengeluaran langsung (out-of-pocket/OOP) untuk mendapatkan pelayanan.

Untuk menjawab pertanyaan “mengapa” hal ini masih terjadi, diperlukan eksplorasi lebih mendalam terhadap hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang rutin dilakukan oleh BPS, guna memahami perilaku, hambatan, dan persepsi masyarakat terhadap akses layanan kesehatan.

Staf Khusus Menteri Bidang Pembiayaan Kesehatan menambahkan,

“Dengan memberikan intervensi yang lebih tepat pada kelompok masyarakat 40% berpengeluaran terbawah, kita dapat meminimalisir OOP dan memperkuat perlindungan finansial,” ujarnya.

Menutup sesi diskusi, Emmy Ridhawaty, Ketua Tim Kerja Analisis Belanja Kesehatan yang juga menjadi moderator, menyampaikan pesan kunci: “Perlindungan finansial adalah esensi dari UHC. Jangan sampai ada masyarakat yang jatuh miskin karena berobat.”

Bayu Teja Muliawan menutup kegiatan dengan menegaskan, “Revisi metodologi SDG 3.8.2 memberikan potret yang lebih akurat terhadap kerentanan finansial rumah tangga miskin di Indonesia. Hasil ini perlu dimanfaatkan untuk memperkuat kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berkeadilan. Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi yang lebih kuat antar lembaga,” pungkasnya.

 

Hastag