Jakarta, Oktober 2025 — Kementerian Kesehatan melalui Pusat Pembiayaan Kesehatan bersama Rumah Sakit Vertikal yang berada di Jakarta dan BPJS Kesehatan melaksanakan kegiatan Penyelesaian Pending Klaim JKN sebanyak 3 kali pertemuan. Pertemuan pertama dilaksanakan pada 25 Agustus 2025, pertemuan kedua pada 10 September 2025 dan pertemuan ketiga dilaksanakan pada 22 Oktober 2025 yang lalu. Kegiatan ini bertujuan menyamakan persepsi antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan dalam penerapan regulasi, pengkodean, serta validasi medis terhadap klaim JKN sehingga klaim yang saat ini menjadi masalah dapat diselesaikan dan dibayarkan serta klaim yang akan datang tidak mengalami hal yang sama seperti saat ini.Forum ini diikuti oleh Rumah Sakit Vertikal yaitu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RS PON Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono, RS Kanker Dharmais, RS Persahabatan, RS Fatmawati, RS Jantung Harapan Kita, RS Ibu dan Anak Harapan Kita serta RS Sulianti Saroso. Pembahasan berfokus pada penyelesaian klaim tertunda akibat perbedaan interpretasi koding, medis dan administratif antara faskes dan verifikator BPJS Kesehatan.Beberapa isu utama yang dibahas antara lain: Penggunaan kode Z51.2 untuk terapi Methotrexate (MTX) pada pasien SLE dan RA. Penegakan diagnosis Pneumonia Penggunaan kode E78.5 (Hyperlipidaemia, unspecified) untuk kasus dislipidemia yang tidak dapat diklasifikasikan secara spesifik. Klarifikasi pengkodean simptom seperti disfagia dan afasia apabila terdapat tatalaksana khusus. Pembahasan layanan rehabilitasi medik dengan tarif kekhususan, Penggunaan kode tindakan debridement dan advancement flap Kasus endoskopi hidung Kasus Enselofalopati Metabolik Kasus Venoplasty dan revisi AV Shunt Kasus Epilepsi dan terapi wicara dan lain lain “Forum ini memastikan rumah sakit dan BPJS Kesehatan memahami dan menerapkan standar yang sama dalam pengkodean dan pembuktian klinis yang tertuang dalam rekam medis secara jelas, terinci baik dalam melakukan pemeriksaan, mendiagnosis maupun apabila ada tindakan operatif yang tertuang jelas pada laporan operasi agar pembayaran klaim dapat berlangsung adil, tepat, dan berdasarkan bukti medis yang valid,” Ketua Tim Pembiayaan JKN di FKRTL, dr Maria Hotnida,MARS.Dari hasil pembahasan penyelesaian klaim sebanyak 3 kali pertemuan tersebut, disepakati banyak poin penting yang digunakan menyelesaikan klaim RS Vertikal yang saat ini belum terbayarkan dan melalui pertemuan tersebut semua pihak diingatkan untuk sama-sama menerapkan prinsip dan tata cara koding sesuai ICD-10, ICD IX CM, PMK No. 26 Tahun 2021serta peraturan lainnya yang dapat dijadikan landasan klinis penegakan diagnosis dan tindakan/prosedur, melakukan kelengkapan berkas dokumen klaim dalam EMR.Kementerian Kesehatan mendukung sistem pembayaran yang efektif, efisien, dan berkeadilan agar pelayanan JKN tetap optimal dan berkesinambungan. Melalui kegiatan ini, proses klaim diharapkan semakin transparan dan mendorong peningkatan mutu pelayanan rumah sakit.
Disini anda dapat mengunduh Kesepakatan Kerja Sama antara Pusat Krisis Kesehatan dengan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM tentang Pelaksanaan Swakelola Tipe II Operasionalisasi Sekretariat AIDHM Tahun 2025Download
Disini anda dapat mengunduh laporan pemantauan harian berpotensi kejadian Krisis Kesehatan tanggal 4 November 2025 Lihat Laporan Pemantauan Harian Pusat Krisis Kesehatan 4 November 2025
Disini anda dapat mengunduh laporan pemantauan harian berpotensi kejadian Krisis Kesehatan tanggal 3 November 2025 Lihat Laporan Pemantauan Harian Pusat Krisis Kesehatan 3 November 2025
Jakarta, 28–29 Oktober 2025 – Kementerian Kesehatan melalui Pusat Pembiayaan Kesehatan bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) menyelenggarakan Workshop Pembaruan Metodologi Indikator SDG 3.8.2 di Gama Tower, Jakarta. Kegiatan ini menjadi forum strategis untuk menyamakan pemahaman lintas lembaga terkait metode baru pengukuran perlindungan finansial masyarakat dalam sistem kesehatan.Workshop dibuka secara resmi oleh Bayu Teja Muliawan, Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Ekonomi Kesehatan, bersama Roderick Salenga, Team Lead Health System WHO Indonesia. Dalam sambutannya, Bayu menekankan pentingnya indikator SDG 3.8.2 bagi Indonesia karena mencerminkan sejauh mana masyarakat terlindungi dari beban biaya kesehatan.“Indikator ini bukan sekadar angka, tetapi cerminan nyata perlindungan masyarakat terhadap risiko finansial akibat sakit. Pemahaman bersama atas metodologi baru ini penting agar kebijakan perlindungan finansial dapat lebih efektif dan berkeadilan,” ujarnya.Roderick Salenga menambahkan bahwa kerja sama antara pemerintah dan WHO dalam memperkuat pemantauan perlindungan finansial menjadi langkah penting untuk memastikan “no one left behind” dalam pencapaian Universal Health Coverage (UHC).Metodologi baru SDG 3.8.2 kini berfokus pada pengeluaran kesehatan yang melebihi 40% dari anggaran diskresioner rumah tangga, menggantikan ambang batas 10% dan 25% pada metode sebelumnya. Pendekatan ini dinilai lebih sensitif terhadap kondisi rumah tangga berpendapatan rendah dan memungkinkan perbandingan antarnegara yang lebih akurat.Workshop ini dihadiri oleh perwakilan dari Bappenas, Kementerian Keuangan, BPS, BPJS Kesehatan, DJSN, Sekretariat SDG serta mitra pembangunan seperti World Bank, ADB, dan ThinkWell Indonesia. Dari WHO hadir Gabriella Flores-Pentzke Saint-Germain (Senior Health Economist, WHO HQ), Annie Chu (Coordinator Health Policy and Strategy), dan Alia Cynthia Luz (Health Economist) dari WHO WPRO dan tim WHO Indonesia.Selama dua hari, peserta membahas hasil perhitungan awal Indonesia, tren pengeluaran out-of-pocket, serta arah kebijakan untuk memperkuat perlindungan finansial. Diskusi dalam workshop menyoroti bahwa tantangan utama Indonesia saat ini bukan lagi soal cakupan pembiayaan, melainkan keadilan dan kesiapan layanan kesehatan. Pemerintah telah menanggung iuran bagi masyarakat miskin dan rentan melalui subsidi, namun sebagian masyarakat masih harus mengeluarkan pengeluaran langsung (out-of-pocket/OOP) untuk mendapatkan pelayanan. Untuk menjawab pertanyaan “mengapa” hal ini masih terjadi, diperlukan eksplorasi lebih mendalam terhadap hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang rutin dilakukan oleh BPS, guna memahami perilaku, hambatan, dan persepsi masyarakat terhadap akses layanan kesehatan.Staf Khusus Menteri Bidang Pembiayaan Kesehatan menambahkan,“Dengan memberikan intervensi yang lebih tepat pada kelompok masyarakat 40% berpengeluaran terbawah, kita dapat meminimalisir OOP dan memperkuat perlindungan finansial,” ujarnya.Menutup sesi diskusi, Emmy Ridhawaty, Ketua Tim Kerja Analisis Belanja Kesehatan yang juga menjadi moderator, menyampaikan pesan kunci: “Perlindungan finansial adalah esensi dari UHC. Jangan sampai ada masyarakat yang jatuh miskin karena berobat.”Bayu Teja Muliawan menutup kegiatan dengan menegaskan, “Revisi metodologi SDG 3.8.2 memberikan potret yang lebih akurat terhadap kerentanan finansial rumah tangga miskin di Indonesia. Hasil ini perlu dimanfaatkan untuk memperkuat kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berkeadilan. Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi yang lebih kuat antar lembaga,” pungkasnya.
Disini anda dapat mengunduh laporan pemantauan harian berpotensi kejadian Krisis Kesehatan tanggal 2 November 2025 Lihat Laporan Pemantauan Harian Pusat Krisis Kesehatan 2 November 2025