Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes melalui Tim Kerja Komunikasi Internal dan Kehumasan menyelenggarakan pertemuan Koordinasi Kehumasan di Lingkungan Rumah Sakit Vertikal Kementerian Kesehatan secara daring pada Kamis, 3 Juli 2025.Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat koordinasi, meningkatkan sinergi, serta menyelaraskan strategi komunikasi publik bagi Humas di lingkungan Direktorat Jenderal Kesehatan Lanjutan, khususnya Rumah Sakit Vertikal (RSV) Kementerian Kesehatan.Kedepannya, pertemuan serupa akan digelar secara rutin sebagai upaya memperkuat kolaborasi antar pejabat dan staf kehumasan Kemenkes.
Jakarta, Juli 2025 – Dalam rangka menyatukan pemahaman seluruh Champion (Agen Perubahan) mengenai peran strategis mereka dalam mendukung transformasi kesehatan nasional dan reformasi birokrasi, Kementerian Kesehatan melalui Pusat Pengembangan Kompetensi Aparatur (P2KA) menyelenggarakan kegiatan Konsolidasi Champion yang digelar pada tanggal 8 Juni secara hybrid. Kegiatan luring dilaksanakan di Lantai 9 Gedung Sujudi dan dihadiri oleh Champion Sekretariat Jenderal, sedangkan kegiatan daring menggunakan aplikasi Zoom Meeting yang diikuti oleh 800 Champion dari unit pusat dan UPT Kemenkes. Selain melalui Zoom Meeting, kegiatan ini juga disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Kemenkes CorpU.Dwi Meilani, SKM., MKM., Kepala Pusat Pengembangan Kompetensi Aparatur Kemenkes dalam sambutannya menyampaikan bahwa: ”Konsolidasi hari ini adalah momen penting untuk menyatukan energi dan memperkuat komitmen bersama untuk saling belajar lintas unit, membangun relasi dan merumuskan langkah nyata agar nilai-nilai budaya kerja tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar hidup dalam keseharian kita." Sebagai salah satu narasumber dalam kegiatan ini, Dr. Ruddy Gobel yang juga merupakan seorang penasihat kebijakan senior menyampaikan bahwa: ”Champion merupakan salah satu bentuk investasi Kemenkes untuk membentuk SDM yang berkualitas. Adapun manfaat yang akan dirasakan oleh insan Kemenkes dengan adanya transformasi internal yaitu pengembangan diri, meningkatkan kepuasan kerja, mendapatkan kesempatan dan jenjang karir yang lebih baik, meningkatkan kemampuan team work serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan resiliensi.” Beliau juga memaparkan tentang peran seorang Champion yaitu memiliki dua peran tugas utama, tugas pertama adalah berperan sebagai komunikator dalam unit kerjanya dengan aktif menyampaikan informasi yang dimiliki dan tugas kedua adalah melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama.Dengan terselenggaranya konsolidasi ini, Kementerian Kesehatan Memperkuat peran Tim Champion sebagai "Agent of Change" yang bertanggung jawab untuk menggagas dan mengimplementasikan langkah-langkah peningkatan produktivitas dan perbaikan budaya kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan.#BudayaKerja #KemenkesCorporateUniversity #KemenkesCorpU #P2KA
Jakarta, Juli 2025 – Dalam rangka mendukung transformasi digital dan meningkatkan kapasitas komunikasi Aparatur Sipil Negara (ASN), Kemenkes CorpU bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) menyelenggarakan rangkaian pelatihan bertemakan komunikasi digital yang digelar pada tanggal 23 Juni hingga 04 Juli 2025 bertempat di BBPK Jakarta Kampus Cilandak.Ketua Tim Kerja Digitalisasi Pembelajaran dan Komunikasi P2KA, menyampaikan bahwa pelatihan ini merupakan inisiatif Kemenkes Corporate University dalam upaya meningkatkan literasi digital bagi ASN Kementerian Kesehatan. “ASN Kemenkes dituntut tidak hanya andal secara substantif, tetapi juga cakap dalam menyampaikan informasi. Pelatihan ini menjawab kebutuhan tersebut secara teknis dan strategis,” ujarnya dalam sambutan pembukaan. Pelatihan dirancang untuk membekali ASN dengan keterampilan teknis dan strategis dalam menyampaikan informasi secara menarik, efektif, dan berbasis data. Dengan mengangkat empat topik utama—Visual Storytelling, Analisis Data, Video Editing, dan Desain Visual Sederhana—program ini menargetkan peningkatan kualitas presentasi, laporan, publikasi, dan konten digital yang dikelola oleh ASN Kemenkes.Kegiatan ini diikuti oleh peserta perwakilan Widyaiswara/ Pengembang Teknologi Pembelajaran/ Pranata Komputer dari seluruh Balai Pelatihan di Kementerian Kesehatan, mulai dari Makassar, Mataram, Semarang, Batam, Ciloto, Cilandak dan Jakarta serta didukung oleh panitia pelaksana dari P2KA dan UNDP Indonesia. Narasumber yang dihadirkan merupakan para praktisi komunikasi dan data dari UNDP.Pelatihan dilaksanakan secara hybrid di BBPK Jakarta Cilandak dengan jadwal sebagai berikut: 23–24 Juni: Visual Storytelling: Membuat PPT yang Memikat dan Informatif 25–26 Juni: Analisis Data untuk ASN: Optimalisasi Kinerja dengan Data 30 Juni–1 Juli: Video Editing for Beginners: Buat Konten Menarik dengan Mudah 3–4 Juli: Desain Visual Sederhana: Membuat Konten Visual yang Menarik Terlihat pada gambar, Peserta mempraktikkan langsung pengetahuan yang didapat mengenai: Teknik menyusun presentasi yang bercerita (storytelling) dan mudah dipahami menggunakan Power Point; Pengolahan dan visualisasi data menggunakan Microsoft Excel; Pengeditan video menggunakan aplikasi seperti CapCut; Mendesain konten untuk media sosial dengan aplikasi sederhana seperti Canva; .Setiap pelatihan dievaluasi post-test untuk mendapatkan umpan balik terhadap fasilitator dan penyelenggara. Harapannya, pelatihan ini mampu meningkatkan kompetensi teknis ASN dalam menyampaikan data dan informasi, sehingga mendukung kebijakan berbasis bukti dan komunikasi publik yang lebih efektif. #DigitalisasiASN #TransformasiKesehatan #KemenkesCorporateUniversity #KemenkesCorpU #UNDP
“Untuk meningkatkan kualitas diri kita sebagai manusia, kita harus selalu belajar dengan memikirkan apa yang dilihat, mengatakan apa yang dipikirkan, melakukan apa yang dikatakan, dan melihat apa yang dilakukan hingga menemukan makna setiap kejadian dalam siklus belajar tersebut.”— Sjamsul ArifinDi tengah kompleksitas organisasi pemerintah, kepemimpinan kerap terperangkap dalam persepsi sebagai simbol kekuasaan, wewenang, dan struktur hierarkis yang kaku. Persepsi ini tidak lahir dari ruang hampa—birokrasi sering kali menyerupai labirin tanpa wajah, tempat prosedur menenggelamkan urgensi dan aturan membungkam inisiatif.Namun, di balik tumpukan dokumen dan rapat yang tiada henti, tersimpan satu dimensi yang kerap luput dari perhatian: kepemimpinan yang berpijak pada empati dan nilai-nilai humanistik. Ini bukan sekadar jargon manajerial yang menyenangkan telinga, tetapi prinsip dasar untuk menghadirkan pemerintahan yang lebih adaptif, manusiawi, dan bermakna secara sosial.Kepemimpinan semacam ini tidak hanya mengatur; ia menginspirasi, memberdayakan, dan menuntun dengan hati—menempatkan manusia sebagai inti dari kebijakan dan pelayanan publik. Dalam birokrasi yang kerap terasa dingin dan impersonal, kehadiran pemimpin yang inspiratif bak oase yang menyegarkan di tengah gurun struktur.Mereka—seperti digambarkan Sjamsul Arifin—tidak berhenti belajar dan mencari makna. Mereka menemukan pelajaran bukan hanya dari tumpukan prosedur, melainkan dari interaksi, pengalaman, dan dampak sosial yang mereka ciptakan.Tulisan ini mengulas bagaimana empati dan dedikasi, jika dipahami sebagai fondasi etis dan bukan semata karakter personal, mampu menjadi katalis bagi transformasi birokrasi yang lebih responsif, inovatif, dan berintegritas. Kepemimpinan Humanistik dalam Birokrasi Modern“Kualitas diri seseorang ditentukan oleh kualitas pikirannya. Pikiran baik, hati baik, kata-kata baik, tindakan baik, maka hasil yang baik akan kembali kepadamu.”— Ary GinanjarKepemimpinan sejati dalam birokrasi tidak dimulai dari jabatan, tetapi dari kejernihan pikiran dan kelapangan hati. Memimpin dengan hati adalah sebuah lompatan paradigma—dari birokrasi yang dingin dan mekanis menuju kepemimpinan yang hangat dan berjiwa. Ia menggeser fokus dari kepatuhan prosedural semata ke arah pengambilan keputusan yang diselimuti empati dan nilai-nilai kemanusiaan.Pemimpin semacam ini tak sekadar membaca angka dalam laporan; mereka menyimak kisah di balik grafik, merasakan denyut realitas yang tersembunyi di antara baris data. Dalam diri mereka, kebijakan bukan sekadar dokumen, melainkan kompas moral yang memandu arah pelayanan publik.Daniel Goleman (1995) menegaskan bahwa empati adalah jantung dari kecerdasan emosional—dimensi kepemimpinan yang lebih menentukan keberhasilan daripada IQ semata. Pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan lebih mampu membentuk tim yang loyal dan berdaya karena mereka tidak hanya memimpin secara rasional, tapi juga relasional.Namun kepemimpinan semacam ini kerap menghadapi tembok budaya birokrasi lama. Empati masih dianggap kelembutan yang melemahkan; mendengar terlalu banyak bisa disalahartikan sebagai ketidaktegasan. Di sinilah dibutuhkan keberanian moral—sejenis nyali batin untuk tetap manusiawi di tengah sistem yang belum sepenuhnya ramah pada kemanusiaan.Salah satu bentuk praksisnya adalah forum dengar pendapat internal yang dilakukan secara rutin—sebuah ruang tanpa meja panjang dan protokol kaku, di mana ide-ide mengalir bebas dan kepercayaan bertumbuh dari bawah. Di sinilah benih kepemimpinan humanistik ditanam, dirawat, dan kelak akan memanen loyalitas yang otentik. Empati sebagai Katalisator Transformasi BirokrasiDalam mesin besar birokrasi, empati adalah percikan listrik yang mampu menghidupkan kembali nadi kemanusiaan dalam setiap kebijakan. Ia bukan sekadar kelembutan hati, melainkan energi transformatif yang menyusup ke dalam cara berpikir, bertindak, dan memimpin.Pertama, empati memungkinkan pemimpin menyelami kedalaman kebutuhan masyarakat secara otentik. Dalam perspektif humanistik, kebijakan publik bukan lagi serangkaian rumus teknokratis, tetapi cermin dari jeritan, harapan, dan dinamika sosial yang nyata. Di tangan pemimpin empatik, kebijakan berubah dari instrumen kekuasaan menjadi jembatan keadilan.Kedua, empati menumbuhkan loyalitas dan semangat kolektif di lingkungan kerja. Pemimpin yang hadir bukan hanya sebagai atasan, tetapi sebagai manusia yang mau mendengar dan memahami, menciptakan iklim kerja yang inklusif dan suportif. Studi Economic Sciences (2023) mengungkap bahwa gaya kepemimpinan empatik berkontribusi signifikan terhadap kepuasan kerja, serta menurunkan tingkat turnover pegawai secara nyata.Namun, empati tidak boleh terjebak dalam romantisme personal. Ia perlu diinstitusionalisasi—ditanamkan ke dalam struktur dan sistem. Di sinilah pentingnya institutional empathy: bagaimana sebuah lembaga menciptakan mekanisme yang tidak hanya menerima keluhan, tetapi merespons dengan rasa, bukan sekadar prosedur. Sebuah sistem pengaduan publik yang mengedepankan keadilan dan kepekaan adalah contoh konkritnya.Ketiga, empati menjadi pelumas dalam mesin kolaborasi lintas sektor. Di tengah birokrasi yang sering berjalan dalam lorong-lorong sektoral yang kaku, pemimpin empatik hadir sebagai penenun—menghubungkan benang-benang yang terputus, menciptakan ruang dialog, dan membangun kepercayaan lintas batas. Di sini, kolaborasi bukan kewajiban administratif, tetapi ekspresi dari nilai kemanusiaan yang sejati. Dedikasi sebagai Fondasi Etika dan Inovasi HumanistikJika empati adalah bahan bakar perubahan, maka dedikasi adalah kemudi yang menjaga arah kapal tetap setia menuju pelabuhan cita-cita. Dedikasi bukan sekadar kerja keras; ia adalah pertautan antara akal, nurani, dan semangat pengabdian yang menjadikan seorang pemimpin tak goyah meski diterpa badai.Pemimpin yang berdedikasi melampaui peran administratif—mereka menjadi mercusuar moral yang menyalakan kompas integritas bagi seluruh organisasi. Dalam pusaran kepentingan politik atau godaan pragmatisme birokrasi, dedikasi berperan sebagai jangkar: menahan kapal agar tidak terseret arus kompromi nilai.Pengalaman ASN muda di Kementerian Keuangan memperlihatkan bahwa code of ethics dan budaya meritokrasi bukan hanya dokumen mati, melainkan perisai nyata terhadap intervensi kekuasaan yang bisa melumpuhkan semangat profesionalisme.Studi ResearchGate (2025) menegaskan bahwa kepemimpinan efektif berperan sebagai mediator antara tata kelola, integritas, dan kinerja. Ini menunjukkan bahwa dedikasi bukan hanya ekspresi personal, tetapi energi moral yang menular—mendorong organisasi tidak hanya bertahan, tetapi terus berkembang.Dalam masa-masa krisis, dedikasi ibarat bara kecil yang tak padam: ia memelihara ketahanan emosional dan profesional tim, menjaga pelayanan publik tetap menyala, sekalipun dalam keterbatasan. Dedikasi sejati terwujud dalam keputusan-keputusan kecil yang konsisten, dalam keberanian menolak jalan pintas, dan dalam kesetiaan terhadap martabat manusia sebagai poros dari setiap kebijakan. Menuju Birokrasi Berhati dan HumanistikKepemimpinan yang berpijak pada empati dan dedikasi bukanlah utopia bagi segelintir idealis—ia adalah tangga logis berikutnya dalam evolusi birokrasi Indonesia. Di tengah tuntutan zaman yang makin kompleks dan masyarakat yang makin kritis, kita tak bisa lagi berlindung di balik tembok prosedur dan angka-angka laporan. Yang dibutuhkan adalah birokrasi yang tidak hanya berjalan di atas rel aturan, tetapi juga berdetak mengikuti denyut kehidupan masyarakat.Paradigma ini menempatkan pegawai dan warga bukan sebagai angka statistik atau objek layanan semata, melainkan sebagai subjek aktif—manusia yang berpikir, merasakan, dan berkontribusi dalam perubahan.Untuk itu, diperlukan langkah-langkah nyata: Integrasi pelatihan empati dan etika kepemimpinan dalam setiap diklat ASN, agar soft skills tak lagi dipandang sebagai pelengkap, tetapi sebagai pondasi kepemimpinan yang kuat. Reformasi sistem evaluasi kinerja, dengan menambahkan dimensi kepekaan sosial, pengaruh terhadap budaya organisasi, dan nilai kemanusiaan dalam matriks penilaian. Dorongan terhadap eksperimen birokrasi berhati, berupa inovasi-inovasi kecil yang mengutamakan pendekatan humanis—mulai dari cara menerima tamu, menangani keluhan publik, hingga memimpin rapat dengan hati nurani, bukan sekadar agenda.Birokrasi yang humanistik adalah birokrasi yang sadar akan jiwanya: bahwa di balik setiap aturan, terdapat kehidupan; di balik setiap prosedur, ada harapan yang menunggu untuk dijawab. PenutupDi balik setiap lembar kebijakan, tersimpan harapan masyarakat. Di setiap meja pelayanan publik, berdiam rasa percaya yang mudah patah bila tak dijaga. Di sinilah pentingnya kepemimpinan yang bukan hanya berpikir dengan kepala, tetapi merasakan dengan hati.Pemimpin yang menempatkan empati dan dedikasi sebagai kompas, tak lagi terpaku pada target formal semata. Mereka menilai keberhasilan bukan hanya dari serapan anggaran atau jumlah output, tetapi dari seberapa dalam kebijakan menyentuh nurani, dan seberapa kuat keputusan mampu merawat martabat manusia.Kepemimpinan humanistik—yang mendengar sebelum memerintah, yang membimbing tanpa merendahkan—adalah fondasi birokrasi yang menyala: bukan hanya melayani, tetapi juga menghidupkan kepercayaan.Kini saatnya birokrasi Indonesia tidak sekadar berjalan di atas rel prosedural, tetapi berdetak dalam irama kemanusiaan. Karena pemimpin sejati bukan hanya yang memegang palu keputusan, tetapi yang sanggup menggenggam kepercayaan publik dengan tangan terbuka dan hati penuh nurani. Daftar Pustaka BBPK Ciloto. (2025). Membangun Budaya Kerja: Melalui Learning Organization dan Inklusi Sosial Mendukung Transformasi Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI. https://bbpkciloto.kemkes.go.id Cherry, K. (2025). IQ vs. EQ: Which One Is More Important? Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/iqor-eq-which-one-is-more-important-2795287 Covey, S. R. (1989). The 7 Habits of Highly Effective People: Powerful Lessons in Personal Change. Simon & Schuster. https://www.franklincovey.com/the7-habits.html Economic Sciences. (2023). The Role of Empathy in Leadership on Employee Satisfaction and Organizational Performance: A Qualitative Analysis. https://economicsciences.com/index.php/journal/article/view/79/48 Frontiers in Psychology. (2024). Empathetic Leadership and Employees’ Innovative Behavior: Examining the Roles of Career Adaptability and Uncertainty Avoidance. https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2024.1234567/full Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bantam Books. https://danielgoleman.info/topics/emotionalintelligence Kusnadi, M. M., Hidayah, I., Pramono, S. E., & Sutopo, Y. (2024). How Effective Leadership Mediates the Influence of Organizational Culture, Governance, and Integrity on Employee Performance. Journal of Ecohumanism, 3(8). https://ecohumanism.co.uk/joe/ecohumanism/article/view/4844 ResearchGate. (2025). Empathy in Leadership: How It Enhances Effectiveness. https://www.researchgate.net/publication/361952690_Empathy_in_Leadership_How_It_Enhances_Effectiveness
Jakarta, 30 Juni 2025.Dalam rangka percepatan penyediaan layanan kegawatdaruratan medis prarumahsakit yang terpadu dan mudah diakses oleh masyarakat, perlu dilakukan akselerasipembentukan dan pengembangan Public Safety Center (PSC) 119 di daerah. Hal inimerupakan bagian dari upaya pemenuhan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitandengan Pelayanan Dasar di bidang kesehatan, sebagaimana diamanatkan dalamUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Download File
Jakarta, 26 Juni 2025 — Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan menyelenggarakan pertemuan penting dalam rangka melakukan reviu terhadap Laporan Kinerja (LKj) Semester I Tahun 2025 oleh Tim Satuan Kepatuhan Intern (SKI). Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk memperkuat sistem akuntabilitas kinerja dan efektivitas pengawasan internal di lingkungan Sekretariat Jenderal.Pertemuan ini diikuti oleh seluruh unit kerja di lingkungan Setjen, Ketua Tim Kerja Dukungan Manajemen di masing-masing unit, serta para anggota Tim SKI yang telah ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/A/1042/2025. Kegiatan ini dirancang sebagai wadah konsolidasi dan sinkronisasi pelaporan kinerja, sekaligus memperkuat koordinasi antarunit untuk memastikan standar pelaporan yang berkualitas.Fokus utama dalam pertemuan ini adalah melakukan reviu menyeluruh terhadap LKj unit kerja yang akan menjadi bagian integral dari penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Sekretariat Jenderal. Selain itu, kegiatan ini juga menjadi ajang berbagi praktik terbaik oleh anggota Tim SKI yang berkontribusi terhadap peningkatan maturitas dan efektivitas pelaksanaan pengawasan internal. Tak kalah penting, pertemuan ini sekaligus menjadi langkah awal dalam mempersiapkan data dukung yang diperlukan untuk penyusunan LAKIP Semester I Tahun 2025.Melalui reviu ini, diharapkan setiap unit kerja dapat menyusun laporan kinerjanya secara tepat waktu, lengkap, dan sesuai dengan standar pelaporan yang berlaku. Hasil reviu juga akan memuat daftar rekomendasi dan tindak lanjut yang disusun oleh Tim SKI untuk membantu penyempurnaan laporan dari masing-masing unit. Komitmen dan partisipasi aktif seluruh unit kerja menjadi kunci dalam mendorong terwujudnya LAKIP yang berkualitas, tidak hanya di tingkat Sekretariat Jenderal tetapi juga dalam lingkup Kementerian Kesehatan secara keseluruhan.Selain LKj dan LAKIP, pertemuan ini juga menegaskan tenggat waktu penyampaian dokumen lainnya, yakni Laporan Manajemen Risiko Semester I Tahun 2025 dan Laporan SPIP Terintegrasi (SPIPT). Ketiga dokumen tersebut ditargetkan rampung paling lambat pada 30 Juni 2025, mengacu pada surat edaran dari Biro Perencanaan dan Anggaran, Biro Keuangan dan BMN, serta Inspektorat Jenderal Kemenkes.Melalui sinergi antara Tim SKI dan unit kerja, Sekretariat Jenderal menunjukkan komitmen kuat dalam membangun budaya kerja yang akuntabel, profesional, dan berorientasi hasil. Reviu kinerja bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan bagian dari proses pembelajaran organisasi untuk terus tumbuh dan memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.