Birokrasi Tanpa Dinding: Merajut Sinergi di Era WFA [2]

Penulis: Yudianto, Pranata Komputer Ahli Madya di Biro UmumRingkasan Bagian PertamaDi bagian pertama artikel ini, kita telah melakukan perjalanan reflektif untuk memaknai birokrasi dalam era fleksibel yang kian mendominasi lanskap kerja modern. Kita mendapati bahwa fenomena Work From Anywhere (WFA), meski menjanjikan fleksibilitas, sesungguhnya menghadirkan paradoks yang menantang kohesi dan fondasi sosial birokrasi yang selama ini dikenal. Lebih jauh, kita telah menelaah isu krusial akuntabilitas tanpa tatap muka, menguraikannya bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai momentum strategis untuk transformasi. Pembahasan kita meliputi pentingnya membangun kepemimpinan berbasis kepercayaan di tengah tantangan mentalitas lama, kebutuhan mendesak untuk menata ulang sistem evaluasi kinerja dalam skema WFA, serta langkah-langkah konkret dalam merancang kerangka kerja WFA yang tangguh agar dapat beradaptasi dengan perubahan.Setelah memahami pondasi dan tantangan awal ini, kini saatnya kita melangkah lebih jauh. Bagian kedua akan membawa kita untuk menyelami lebih dalam aspek-aspek krusial yang membentuk birokrasi modern yang adaptif dan responsif. Kita akan melihat bagaimana elemen-elemen ini tidak hanya mendukung, tetapi juga menjadi pendorong utama bagi evolusi birokrasi menuju masa depan yang lebih dinamis dan efektif. Komunikasi Digital: Senjata Strategis Birokrasi ModernDalam sistem kerja yang tersebar, komunikasi bukan lagi sekadar alat tukar pesan, melainkan perekat sistem birokrasi. Tanpa koordinasi yang terstruktur dan efektif, fleksibilitas mudah terjerumus menjadi disorientasi. Karena itu, di era Work From Anywhere (WFA), komunikasi digital tidak cukup dimaknai sebagai sarana administratif—melainkan sebagai senjata strategis birokrasi modern.Layaknya operasi militer di era cyber-kinetic warfare, kemenangan tidak ditentukan oleh kekuatan tunggal, melainkan oleh kemampuan sinkronisasi lintas domain. Dalam konteks ASN, domain itu mencakup perangkat, platform, struktur organisasi, dan—yang paling penting—relasi antar-manusia dalam jaringan digital.Terinspirasi dari Faizur et al. (2023), komunikasi digital yang tidak terstruktur dalam skema WFA dapat diibaratkan seperti tentara tanpa radio: bekerja dalam diam, rentan terhadap miskomunikasi, dan kehilangan kesadaran situasional [3].Agar tidak berubah menjadi kekacauan tersembunyi, sistem komunikasi digital birokrasi harus dirancang tidak hanya fungsional, tetapi juga strategis, empatik, dan berbasis keterikatan. Beberapa elemen krusialnya antara lain:1. Platform Kolaborasi TerintegrasiSalah satu kekeliruan umum dalam implementasi WFA adalah membiarkan ASN menggunakan berbagai platform komunikasi secara bebas tanpa pedoman terpadu. Hasilnya, komunikasi menjadi terfragmentasi, file tercecer, dan instruksi saling tumpang tindih.Untuk itu, pemerintah perlu menetapkan satu atau dua platform utama—seperti Microsoft Teams, Zoom, atau Google Workspace—sebagai standar operasional. Pemilihan ini harus dibarengi dengan pelatihan menyeluruh dan tata kelola teknis yang memastikan interoperabilitas antar-unit.Faizur et al. (2023) menunjukkan bahwa produktivitas ASN meningkat signifikan ketika sistem kolaborasi digital tidak hanya digunakan saat rapat besar, tetapi diintegrasikan ke dalam siklus kerja harian [3].2. Protokol Komunikasi yang Jelas dan HirarkisTidak semua pesan memerlukan perlakuan yang sama. Tanpa protokol, ASN dapat kebanjiran notifikasi tanpa arah prioritas. Maka penting untuk menetapkan hirarki media komunikasi, misalnya: Email: untuk dokumen resmi, keputusan struktural, dan korespondensi formal. Chat (WhatsApp, Telegram, Teams Chat): untuk instruksi operasional harian dan permintaan cepat. Rapat Virtual: hanya untuk diskusi strategis, pengambilan keputusan, atau koordinasi lintas unit—bukan untuk briefing rutin yang bisa ditulis.Protokol semacam ini perlu dituangkan dalam pedoman komunikasi digital internal yang disesuaikan dengan kultur dan struktur masing-masing instansi.3. Literasi Digital ASN: Bukan Tambahan, Tapi Tulang PunggungBanyak ASN masih memandang platform digital sebagai alat bantu tambahan, bukan sebagai infrastruktur utama kerja. Akibatnya, potensi fitur penting—seperti task management, auto-scheduling, atau document versioning—sering tak dimanfaatkan.Pemerintah perlu memperluas pelatihan digital secara sistemik dan berjenjang, mulai dari pemahaman dasar hingga pemanfaatan lanjutan untuk kepemimpinan digital. Seperti dicatat Az’zahra et al. (2024), keterampilan digital bukan lagi pelengkap, tetapi telah menjadi kompetensi inti bagi ASN modern [1].4. Koneksi Emosional dalam Ruang VirtualWFA kerap membuat ASN merasa seolah bekerja sendirian di tengah lalu lintas data yang padat. Tanpa interaksi informal, kepercayaan dan kohesi sosial sulit tumbuh. Karena itu, birokrasi modern perlu secara aktif membangun ruang emosional virtual—melalui sesi virtual coffee, permainan daring sederhana, atau check-in mingguan yang membahas keseharian, bukan semata tugas.Inisiatif seperti ini bukan sekadar gimmick HR. Ia adalah bagian dari strategi komunikasi afektif yang memastikan bahwa keterpisahan fisik tidak menjelma menjadi keterasingan emosional.Komunikasi digital dalam birokrasi fleksibel bukan hanya tentang teknologi—ia adalah arsitektur sosial. Ketika tembok gedung tidak lagi menjadi batas organisasi, komunikasi menjadi jantung birokrasi yang hidup.WFA hanya akan berhasil jika komunikasi digital tidak sekadar efisien, tetapi juga manusiawi dan bermakna. Jika dikelola sembarangan, WFA akan memperbesar jarak antarindividu dan melemahkan koordinasi. Namun jika diorkestrasi secara strategis, ia justru bisa memperkuat jejaring, mempercepat keputusan, dan memperkaya relasi kerja lintas batas.Mengadaptasi peringatan OECD (2023):“Ketika struktur organisasi menghilang dari pandangan mata, komunikasi adalah satu-satunya garis hidup yang tersisa.” [10] Pemimpin Fleksibel, Bukan Fleksibilitas PemimpinDi medan kerja yang fleksibel, peran pemimpin tidak lagi identik dengan sosok yang “mengawasi dari dekat”. Ia telah berevolusi menjadi navigator strategis dalam ekosistem kerja yang tersebar, cair, dan terus berubah. Dalam konteks Work From Anywhere (WFA), kepemimpinan tidak ditentukan oleh kehadiran fisik, tetapi oleh kemampuannya membangun kejelasan, kepercayaan, dan koneksi—semuanya melalui medium digital yang terus berkembang.Mengadaptasi gagasan Faizur et al. (2023), pemimpin yang abai pada komunikasi digital bukan hanya tertinggal, tetapi kehilangan komando [3].Dari Micromanagement ke Outcome-Based LeadershipBanyak pemimpin birokrasi Indonesia masih terpaku pada paradigma kehadiran: selama ASN terlihat aktif, dianggaplah kinerjanya baik. Namun model ini runtuh total dalam lanskap WFA. Yang dibutuhkan bukan lagi pengawasan mikro, melainkan kepemimpinan berbasis hasil (outcome-based leadership)—menilai kontribusi ASN dari capaian strategis, bukan sekadar rutinitas.Tiga pilar utama kepemimpinan WFA yaitu kejelasan tujuan dan ekspektasi, umpan balik dua arah dan berkala, serta kepercayaan sebagai modal utama. Tanpa arah yang jelas, fleksibilitas mudah berubah menjadi kebingungan. Umpan balik berkala menciptakan ruang dialog yang memperkuat koneksi profesional dan emosional. Dan pada akhirnya, kepercayaan menjadi mata uang paling berharga dalam ekosistem kerja tanpa pengawasan langsung.Sebagaimana disoroti oleh Harvard Business Review (2025), dalam tim jarak jauh, kepercayaan telah menggantikan mekanisme kontrol tradisional berbasis kehadiran fisik [4].Pemimpin sebagai Digital OrchestratorDi era kerja hibrida, pemimpin harus menjadi arsitek ekosistem digital—yang mampu memilih alat kolaborasi yang tepat, mendesain alur kerja modular, dan menjaga efektivitas komunikasi tanpa menimbulkan digital fatigue. Lebih dari itu, pemimpin juga bertanggung jawab memastikan ritme kerja yang manusiawi, agar fleksibilitas tidak berubah menjadi beban tersembunyi. Di sinilah work-life balance menjadi bagian integral dari kepemimpinan digital: menjaga agar koneksi daring tidak mengikis batas sehat antara waktu kerja dan waktu hidup.Tanpa kepemimpinan digital, ASN berisiko terjebak dalam banjir notifikasi dan pertemuan daring yang tidak produktif. Pemerintah sendiri mulai mengakselerasi agenda ini. Kementerian PANRB secara konsisten mendorong pentingnya digital leadership. Seperti dikemukakan oleh Menteri Abdullah Azwar Anas (2024), digital leadership harus terus digelorakan karena merupakan prasyarat untuk birokrasi yang cepat dan adaptif [5].Model serupa mulai diaplikasikan di kementerian teknis. Meski belum semua laporan terkait Program Leadership in Remote Contexts Kemenkeu dipublikasikan, semangatnya sejalan dengan visi SPBE dan transformasi digital. Di sini, kepemimpinan digital bukan pelengkap—tetapi fondasi baru bagi ASN 5.0 yang bekerja dalam ekosistem kerja dinamis, berbasis data, dan berpihak pada keberlanjutan—termasuk keberlanjutan relasi, produktivitas, dan work-life balance.Empati sebagai Strategi, Bukan SentimenDalam birokrasi yang kerap diasosiasikan dengan formalisme dan kepatuhan prosedural, empati sering disalahpahami sebagai kelembutan yang kontra-produktif. Namun di era kerja fleksibel, empati justru menjadi strategi manajemen krisis mikro.Ketika interaksi terbatas pada layar, sinyal kelelahan, konflik laten, atau disfungsi tim menjadi jauh lebih sulit dikenali. Karena itu, pemimpin perlu mengembangkan kepekaan emosional—untuk menangkap isyarat stres, mendengar keluhan secara aktif, dan menyediakan ruang sosial yang hangat, meskipun bersifat virtual.Penelitian Stefan Kloepfer & Claus-Christian Carbon (2025) menekankan peran sentral kepemimpinan empatik dalam membangun kepercayaan di tim jarak jauh:“Leadership plays an important role in the functioning of remote teams, including creating conditions that can help build trust.”— Kloepfer & Carbon, Journal of Applied Psychology, 2025 [7]Empati semacam ini bukan simbolik atau kosmetik, tetapi respons strategis yang memperkuat keterlibatan pegawai (employee engagement) dan ketahanan psikologis tim dalam menghadapi tekanan kerja digital.Kesimpulan: Bukan Pengawas, Melainkan Pengarah dan TransformatorDalam lanskap birokrasi fleksibel, pemimpin dituntut untuk meninggalkan model lama dan mengadopsi peran baru yang lebih adaptif dan transformatif. Ia bukan lagi pengawas jarak dekat, tetapi pengarah visioner—yang menavigasi organisasi melalui kejelasan tujuan, komunikasi bermakna, dan bangunan kepercayaan yang kokoh.Ia bukan semata penyampai instruksi, tetapi perancang sistem kerja yang menjembatani ASN lintas lokasi dalam alur kolaborasi yang efisien dan manusiawi. Lebih jauh lagi, ia bukan sekadar penjaga stabilitas, melainkan agen perubahan—yang mampu membaca arah zaman, mengolahnya menjadi peluang, dan menjadikannya lompatan menuju birokrasi yang lincah dan tangguh.Tanpa pemimpin yang cakap dalam medium digital, WFA berisiko menjadi kebijakan tanpa arah dan tanpa jiwa. Tetapi dengan kepemimpinan yang adaptif, berbasis kepercayaan, dan dilandasi empati strategis, transformasi ini dapat menjelma menjadi standar baru birokrasi: kolaboratif, transparan, dan berorientasi hasil. Birokrasi Tanpa Dinding: Jalan Menuju Pemerintahan Masa DepanIndonesia kini berada di persimpangan krusial: antara birokrasi konvensional yang rigid dan tata kelola pemerintahan yang adaptif, digital, serta fleksibel. Dalam konteks ini, Work From Anywhere (WFA) bukan sekadar soal bekerja dari rumah atau lokasi non-kantor. Ia merepresentasikan sebuah revolusi kultural—yang menantang cara kita selama ini memaknai produktivitas, kolaborasi, dan kedekatan struktural dalam kerja pemerintahan.Penelitian Az’zahra et al. (2024) mengonfirmasi bahwa skema fleksibilitas kerja dapat meningkatkan produktivitas ASN—dengan satu prasyarat penting: adanya ekosistem komunikasi yang sehat dan sumber daya manusia yang kompeten serta adaptif [1].Namun, fleksibilitas bukan tanpa risiko. Jika tidak disertai komunikasi yang terstruktur dan sistem akuntabilitas yang kuat, WFA dapat melahirkan birokrasi yang cair namun kehilangan kohesi; luwes namun tanpa arah. Inilah ironi yang perlu dihindari: ketika fleksibilitas berubah menjadi fragilitas.Di sinilah komunikasi digital memainkan peran sentral—bukan semata sebagai alat bantu administratif, tetapi sebagai fondasi infrastruktur sosial birokrasi masa depan. Dalam tata kelola yang makin tersebar dan berbasis data, keterhubungan menjadi syarat mutlak, bukan sekadar preferensi. Kejelasan arah, keterbukaan antar-unit, dan rasa saling percaya hanya mungkin tumbuh dalam jaringan komunikasi yang kuat, strategis, dan manusiawi.Dengan demikian, WFA bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan menuju bentuk birokrasi baru yang lebih responsif tanpa kehilangan arah, lebih manusiawi tanpa kehilangan struktur, dan lebih terhubung tanpa harus selalu hadir secara fisik.Birokrasi tanpa dinding bukan berarti tanpa batas, tetapi birokrasi yang meruntuhkan sekat-sekat lama demi membangun ruang kolaboratif yang lintas-waktu, lintas-lokasi, dan lintas-generasi. Inilah jalan menuju pemerintahan masa depan: lincah dalam bertindak, terbuka dalam berkomunikasi, dan kokoh dalam menjaga akuntabilitas. PenutupFleksibilitas kerja bukan pengganti disiplin, dan digitalisasi bukan jaminan efisiensi. Komunikasi digital adalah benang merah yang merajut kohesi organisasi—tanpa benang itu, kebebasan kerja mudah terurai menjadi simpul kusut yang memutus keseimbangan antara kerja dan hidup (work-life balance).Di era Work From Anywhere, keterhubungan bukan sekadar soal jaringan atau perangkat, melainkan fondasi kepercayaan dan tanggung jawab yang menopang bangunan birokrasi. Saya percaya, tantangan terbesar bukanlah bekerja dari mana saja, tetapi bagaimana menjaga harmoni dalam orkestra kolektif tanpa harus selalu ada konduktor yang mengawasi.Birokrasi tanpa dinding bukan sekadar mimpi, melainkan taman yang menunggu untuk ditata dengan keberanian—dari pengawasan menuju kepercayaan, dari kontrol menuju koneksi. Di taman itu, komunikasi digital menjadi akar dan ranting yang menumbuhkan keseimbangan hidup dan kerja, agar keduanya tumbuh bersama secara berkelanjutan.Mungkin, inilah saatnya kita merenung: bagaimana kita merajut benang-benang itu, agar bukan hanya efisien, tapi juga bermakna bagi setiap insan yang menjalankan roda birokrasi. Referensi[1] Az’zahra, N. D., Anggodo, S. M., & Salvina, Z. (2024). Analisis Dampak Fleksibilitas Work From Anywhere (WFA) Terhadap Kinerja ASN. Neraca: Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi, 2(5), 427–436. Diakses dari https://doi.org/10.572349/neraca.v2i5.1530atau https://jurnal.kolibi.org/index.php/neraca/article/view/1530  [2] Bailenson, J. N. (2021). Nonverbal overload: A theoretical argument for the causes of Zoom fatigue. Technology, Mind, and Behavior, 2(1). Diakses dari https://doi.org/10.1037/tmb0000030[3] Faizur, M., Khoiriani, A., & Susianti, S. (2023). Pengaruh penerapan skema Work From Anywhere (WFA) di Direktorat Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa. E‑Jurnal Perspektif Ekonomi dan Pembangunan Daerah, 12(1), 1–8. Diakses dari https://doi.org/10.22437/pdpd.v12i1.27939 atau  https://mail.online-journal.unja.ac.id/pdpd/article/download/27939/18600/106828[4] Harvard Business Review. (2025). Trust is the new control mechanism in remote teams. Harvard Business Publishing, edisi Februari 2025.[5] Kementerian PANRB. (25 Januari 2023). Menteri Anas Dorong Penguatan 'Digital Leadership' pada Closing Ceremony ASN Culture Fest. Diakses dari https://menpan.go.id/site/berita-terkini/menteri-anas-dorong-penguatan-digital-leadership-pada-closing-ceremony-asn-culture-fest [6] Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2025). Peraturan Menteri PANRB Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Tugas Kedinasan Pegawai Aparatur Sipil Negara Secara Fleksibel pada Instansi Pemerintah. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/317321/permen-panrb-no-4-tahun-2025[7] Kloepfer, S., & Carbon, C.-C. (2025). Leadership plays an important role in the functioning of remote teams, including creating conditions that can help build trust. Journal of Applied Psychology.[8] Kompas.com. (18 Juni 2025). Aturan Baru, ASN Kini Boleh WFA dan Jam Kerja Fleksibel. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2025/06/18/18362931/aturan-baru-asn-kini-boleh-wfa-dan-jam-kerja-fleksibel[9] Kompas.com. (19 Juni 2025). Ada Kebijakan Boleh WFA, ASN: Bisa Bikin "Work-Life Balance". Diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2025/06/19/13130941/ada-kebijakan-boleh-wfa-asn-bisa-bikin-work-life-balance[10] OECD. (2023). Government at a Glance 2023. OECD Publishing. Diakses dari https://doi.org/10.1787/9301f5b4-en[11] Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Touchstone Books/Simon & Schuster. Diakses dari https://doi.org/10.1145/358916.361990   [12] Schein, E. H. (2010). Organizational Culture and Leadership (4th ed.). Jossey-Bass.

Birokrasi Tanpa Dinding: Merajut Sinergi di Era WFA

Penulis: Yudianto, Pranata Komputer Ahli Madya di Biro UmumRingkasanDi tengah derasnya arus transformasi digital, birokrasi kita berdiri di persimpangan keniscayaan: beradaptasi atau dilindas waktu. Fenomena Work From Anywhere membuka jendela ke dunia kerja tanpa batas—sebuah birokrasi tanpa dinding yang sekaligus mengungkap rapuhnya fondasi sosial yang selama ini menopangnya. Di sinilah paradoks mencuat: sejauh mana kita bisa adaptif dan fleksibel, tanpa kehilangan kohesi dan jiwa kolektif?Seperti akar yang merambat ke dalam tanah, birokrasi masa kini menuntut fondasi yang bukan hanya fisik dan digital, tetapi juga infrastruktur sosial yang relasional—tempat empati, kolaborasi, dan komunikasi digital tumbuh sebagai simpul-simpul inheren dalam setiap interaksi. Di era ketika ruang kerja berpindah ke layar, komunikasi digital menjadi tulang punggung birokrasi modern—penentu arah, penguat gravitas relasi, serta penjaga work-life balance agar tak terkikis oleh digital fatigue.Birokrasi kini adalah ekosistem yang ditenagai oleh modal sosial sebagai energi pengikat kolektif, melintasi batas peran dan ruang kerja. Dalam momentum perubahan ini, literasi digital bukan hanya keterampilan teknis, melainkan bahasa baru yang membangun jembatan pengertian—yang terhubung dengan nurani dan akal sehat. Work From Anywhere menuntut budaya birokrasi yang mampu menjaga keseimbangan antara otonomi dan akuntabilitas, antara kebebasan bergerak dan arah bersama—dan semua itu ditopang oleh komunikasi digital yang inklusif, kohesif, dan bermakna.Transformasi ini bersifat signifikan, bukan hanya karena menyentuh cara kerja, tetapi karena menuntut perubahan cara berpikir—dari yang mekanistik menjadi lebih humanis, dari yang kaku menjadi fleksibel, dari yang hirarkis menjadi lebih kolaboratif. Dalam dunia kerja yang semakin asimetris, konektivitas menjadi nilai strategis yang menentukan keberhasilan organisasi: bukan sekadar siapa yang bekerja di mana, tapi bagaimana semua tetap merasa terhubung dalam visi bersama.Ini adalah perjalanan menuju birokrasi yang bukan hanya bertahan, tetapi berkembang—fleksibel namun kokoh, beragam namun utuh, serta mengisi ruang-ruang kosong dengan makna yang lahir dari empati, kesadaran, dan kualitas interaksi digital yang terjaga.Artikel ini hadir sebagai undangan reflektif, untuk mengurai benang kusut birokrasi modern dan menyalakan kesadaran kolektif bahwa birokrasi bukan sekadar struktur, tetapi makhluk hidup dalam sistem sosial yang dinamis dan penuh paradoks. Ia harus mampu menari lincah di lanskap digital tanpa kehilangan akarnya—mengelola komunikasi digital sebagai alat perekat sosial, serta memelihara modal sosial sebagai kekuatan tak kasat mata namun penuh daya. Birokrasi masa depan adalah simfoni antara teknologi dan kemanusiaan—fungsional sekaligus futuristik, tempat setiap nada mewakili keberanian untuk berubah dan kekuatan untuk tetap terhubung. Pengantar“Di era kerja fleksibel, yang paling rentan bukanlah sistem pengawasan, melainkan komunikasi yang kehilangan makna.”Kalimat ini bukan sekadar refleksi personal, tetapi realitas kolektif di tengah transisi besar birokrasi Indonesia menuju era kerja digital. Ketika interaksi tatap muka tergantikan oleh layar, dan notifikasi menggantikan kehadiran fisik, titik berat komunikasi digital dalam birokrasi pun bergeser—dari sekadar alat bantu koordinasi menjadi penopang utama kohesi dan budaya organisasi.Transformasi ini diperkuat oleh lahirnya kebijakan Work From Anywhere (WFA) melalui Permen PANRB Nomor 4 Tahun 2025, yang menginstitusikan fleksibilitas kerja sebagai norma baru. Namun perubahan ini tidak hanya bersifat teknologis atau prosedural. Yang lebih mendalam adalah perubahan dalam cara birokrasi membangun kepercayaan, membagi makna, dan merawat identitas kolektif di ruang kerja yang kini tersebar dan nyaris tak berbentuk.Dalam konteks ini, work-life balance menjadi isu yang tak terhindarkan. Fleksibilitas kerja memang memberi otonomi, tetapi tanpa komunikasi digital yang cermat dan empatik, batas antara hidup pribadi dan kerja justru makin kabur. Ketidakhadiran fisik menuntut hadirnya relasi yang lebih manusiawi secara virtual—agar fleksibilitas tidak berubah menjadi beban tersembunyi.Reformasi birokrasi telah memasuki babak baru—bukan lagi hanya tentang struktur, jabatan, atau prosedur, tetapi tentang bagaimana komunikasi digital dijadikan infrastruktur sosial. Di ruang virtual yang minim gestur dan basa-basi, komunikasi bukan lagi sekadar menyampaikan, tetapi menghubungkan, menyatukan, bahkan membangun rasa hadir di tengah ketidakhadiran fisik.Artikel ini bertolak dari pemahaman tersebut: bahwa di tengah desentralisasi ruang kerja, birokrasi yang adaptif dan bermakna hanya mungkin lahir jika komunikasi digital diberi peran strategis—sebagai sarana, budaya, dan fondasi kepemimpinan yang juga memelihara work-life balance sebagai bagian dari keberlanjutan kerja. Memaknai Birokrasi dalam Era FleksibelTransformasi kerja yang dipicu oleh kebijakan Work From Anywhere (WFA) menuntut kita untuk meredefinisi ulang paradigma birokrasi. Tidak lagi cukup memaknai birokrasi sebagai sistem yang bergantung pada kehadiran fisik, hierarki formal, dan mekanisme pengawasan langsung. Di tengah fleksibilitas ruang dan waktu, birokrasi kini ditantang untuk membuktikan bahwa ia tetap dapat menjalankan fungsi pelayanan publik secara efektif, akuntabel, dan terhubung—meski tanpa batas-batas ruang yang kaku.Dalam konteks ini, penulis mengajukan tiga konsep kunci yang saling melengkapi dan menggambarkan orientasi baru birokrasi di era kerja fleksibel: Birokrasi Adaptif. Menggambarkan kemampuan birokrasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis—baik dalam hal regulasi, struktur organisasi, teknologi, maupun pola kerja. Birokrasi tidak lagi reaktif, tetapi proaktif dalam merespons dinamika dan kompleksitas zaman. Birokrasi Fleksibel. Menekankan pada pelonggaran struktur fisik dan prosedural, dengan fokus pada kinerja berbasis hasil (outcome-based), penggunaan teknologi sebagai pengungkit, serta otonomi pegawai sebagai modal kerja. Fleksibilitas bukan berarti kehilangan arah, tetapi memperluas ruang manuver untuk mencapai tujuan organisasi secara lebih efisien dan manusiawi. Birokrasi Tanpa Dinding. Merupakan metafora konseptual yang mencerminkan hilangnya batas ruang kerja konvensional. Interaksi, kolaborasi, dan pengambilan keputusan kini berlangsung dalam ruang digital yang cair. Namun, dalam ketiadaan gedung fisik, kohesi dan akuntabilitas tetap harus terjaga melalui sistem kerja yang transparan, komunikasi yang bermakna, serta kepemimpinan yang menghubungkan.Ketiga istilah ini bukan sekadar jargon, melainkan kerangka konseptual untuk memahami arah baru birokrasi: bukan sekadar soal tempat kerja, tetapi soal cara bekerja; bukan soal kehadiran fisik, tetapi soal kontribusi yang terukur; bukan soal kendali struktural, tetapi soal kepercayaan yang dibangun melalui komunikasi dan tanggung jawab.Birokrasi masa depan tidak ditentukan oleh keberadaan dalam satu gedung, tetapi oleh kemampuannya menjaga konektivitas, membangun makna bersama, dan tetap menghadirkan pelayanan publik yang prima dalam lanskap kerja yang tersebar. Paradoks WFA: Fleksibilitas yang Menantang KohesiSecara teori, skema Work From Anywhere (WFA) menjanjikan banyak hal: jam kerja yang lebih lentur, efisiensi anggaran, fokus pada hasil kerja, serta keseimbangan hidup yang lebih baik (work-life balance) bagi Aparatur Sipil Negara."Fleksibilitas kerja hadir sebagai solusi untuk menjawab kebutuhan kerja yang semakin dinamis.”— Nanik Murwati, Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana, Kemenpan-RB [8]ASN tidak lagi harus berjibaku melawan kemacetan atau menghabiskan waktu di ruang tunggu. Di atas kertas, semuanya terlihat ideal. Namun dalam praktik, fleksibilitas ini membawa dampak berlapis—dan sebagian tidak mudah dikenali.Tapi seperti halnya setiap kebebasan, fleksibilitas juga datang bersama tanggung jawab baru—terutama dalam menjaga ikatan kolektif di ruang kerja yang makin abstrak.Dalam birokrasi klasik ala Weber, kontrol dan kepatuhan dibentuk oleh struktur hierarkis, kedekatan fisik, dan prosedur yang rigid. Ketika ruang dan waktu menjadi cair seperti dalam skema WFA, kontrol tidak lagi bersandar pada kehadiran, melainkan pada kepercayaan, akuntabilitas digital, dan literasi teknologi. Ini menuntut bentuk kedisiplinan baru yang tidak selalu terdukung oleh kultur birokrasi konvensional.Di sinilah letak paradoksnya: kendali atas waktu dan tempat kini berada di tangan individu,tetapi organisasi justru menghadapi tantangan dalam menjaga kekompakan, semangat kolektif, dan kelancaran aliran informasi.Beberapa gejala yang kini muncul sebagai konsekuensi dari sistem kerja yang tersebar ini antara lain: Erosi Interaksi Humanis. Percakapan ringan di lorong kantor atau obrolan santai saat makan siang bukan sekadar basa-basi. Ia adalah fondasi kepercayaan dan kolaborasi tim. Ketika momen itu hilang, relasi antar rekan kerja berisiko menjadi transaksional—terbatas pada tugas, tanpa ruang emosional. Menurut Putnam (2000), interaksi sosial informal adalah komponen vital yang membangun social capital, yang memperkuat kohesi dan kinerja organisasi [11]. Zoom Fatigue dan Kejenuhan Virtual. Alih-alih menjadi solusi efisien, rapat daring yang berlangsung maraton justru menimbulkan kelelahan kognitif. Terlalu sering berpindah antara layar presentasi, wajah-wajah beku di grid kamera, dan suara yang putus-nyambung membuat komunikasi kehilangan kedalaman dan spontanitas. Studi Bailenson (2021) menyebut fenomena ini sebagai Zoom fatigue, yang berdampak signifikan pada produktivitas dan kesejahteraan pekerja [2]. Isolasi Organisasi dan Memudarnya Budaya Kerja. Ketika ASN bekerja dari titik-titik geografis yang berbeda tanpa sentuhan fisik, identitas organisasi berisiko merosot menjadi sekadar dokumen nilai. Budaya kerja yang sebelumnya terinternalisasi lewat teladan dan atmosfer kantor kini harus direka ulang dalam bentuk digital—sebuah tantangan tersendiri. Schein (2010) menekankan bahwa budaya organisasi terbentuk dari pengalaman kolektif dan interaksi sehari-hari, yang sulit digantikan oleh komunikasi digital semata [12]. Asimetri Teknologi dan Ketimpangan Infrastruktur. Tidak semua ASN memiliki akses yang setara terhadap perangkat kerja dan koneksi internet. Perbedaan ini memengaruhi kecepatan, kualitas komunikasi, bahkan beban kerja. ASN di daerah yang kesulitan sinyal kerap terdiskoneksi—baik secara literal maupun struktural. Penelitian Az’zahra et al. (2024) menyoroti bagaimana disparitas infrastruktur digital dapat menjadi faktor penghambat utama efektivitas WFA di lingkungan pemerintahan Indonesia [1].Empat gejala ini tidak berdiri sendiri. Mereka membentuk sebuah lanskap baru relasi kerja — di mana struktur yang dulu kasat mata (seperti jam kerja, seragam, meja kantor) telah digantikan oleh struktur implisit seperti kepercayaan, intensi, dan pola komunikasi digital. Jika struktur lama memaksa keterikatan lewat kehadiran fisik, struktur baru menuntut kesadaran untuk hadir secara relasional — hadir bukan hanya secara daring, tetapi juga secara bermakna.Fleksibilitas kerja memang memberikan ruang gerak yang luas. Namun tanpa penataan komunikasi yang matang, ia berisiko memperlebar jurang koordinasi. Di sinilah letak paradoks WFA: semakin longgar struktur fisiknya, semakin besar kebutuhan akan keterhubungan non-fisik yang kuat dan bermakna.Di tengah kelonggaran struktur, justru kebutuhan akan keterhubungan emosional dan profesional semakin mendesak. WFA bisa menjadi loncatan transformasi—tapi hanya jika komunikasi difungsikan sebagai pengikat, bukan sekadar pengantar pesan. Untuk itu, WFA memerlukan penataan komunikasi yang bukan hanya fungsional, tetapi relasional. ASN butuh ruang kerja virtual yang tidak hanya mendukung kerja, tetapi juga menciptakan rasa hadir secara emosional.Mungkin inilah tantangan terbesar dari birokrasi fleksibel: bukan sekadar mengelola kerja dari mana saja, tetapi membangun rasa kebersamaan meski berada di mana-mana. Akuntabilitas Tanpa Tatap Muka: Masalah atau Momentum?Ketidakhadiran fisik tak lagi bisa dijadikan indikator utama kinerja. Di era Work From Anywhere (WFA), yang penting bukan lagi di mana seseorang bekerja, tetapi kontribusi nyata yang dihasilkannya. Namun ketika pengawasan visual dan kehadiran fisik tak lagi menjadi andalan, akuntabilitas kerja ASN memasuki fase transisi yang tidak selalu mulus. Pertanyaannya sederhana namun mendasar: bagaimana mengelola kinerja di dunia yang semakin tidak kasat mata?Dalam birokrasi tradisional, kehadiran sering kali dijadikan proxy dari produktivitas. Jam masuk dan pulang dicatat, absensi dihitung, dan keberadaan di meja kerja menjadi simbol tanggung jawab. Tapi dalam lanskap kerja yang terdispersi seperti WFA, semua itu runtuh. Kini, birokrasi ditantang untuk mengalihkan fokus dari rutinitas menuju hasil; dari proses ke outcome.Sebagaimana dirangkum oleh penulis:“WFA bukan tentang bekerja dari mana saja, tapi bekerja dengan hasil yang dapat diverifikasi dari mana saja.”Kalimat ini merangkum pergeseran mendasar dalam orientasi kerja pemerintahan: dari pengawasan fisik menuju pengelolaan berbasis kepercayaan dan bukti kinerja. Esensi akuntabilitas bukan lagi soal hadir di ruang kerja, melainkan kemampuan menunjukkan kontribusi yang terukur, transparan, dan berdampak — di mana pun lokasi bekerja.Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa belum semua instansi siap bertransformasi ke paradigma ini. Masih banyak pimpinan dan sistem evaluasi yang terpaku pada kehadiran sebagai ukuran utama. Inilah salah satu ironi birokrasi modern: teknologi membuka jalan, tetapi budaya lama justru menahan langkahnya.“Tidak ada pendekatan satu untuk semua. Instansi diberikan keleluasaan untuk menetapkan model fleksibilitas yang paling tepat, asalkan tetap berorientasi pada kinerja dan akuntabilitas.”— Deny Isworo Makirtyo Tusthowardoyo, Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Sistem Kelembagaan dan Tata Laksana, Kemenpan-RB [8]Misalnya, Kementerian PUPR mengakui bahwa sebagian besar tugasnya bersifat teknis dan lapangan, sehingga pelaksanaan WFA menghadapi keterbatasan.“Kalau untuk full WFA ya agak susah, karena pelayanan kami sangat teknis.”— Argy, ASN Teknis Kementerian PUPR, Kompas.com, 19 Juni 2025 [9]Artinya, penerapan WFA tidak bisa disamaratakan. Ia memerlukan pemetaan menyeluruh atas jenis pekerjaan, fungsi pelayanan, dan kesiapan digital. Setidaknya terdapat tiga kelompok besar yang dapat menjadi dasar bagi segmentasi kebijakan WFA: Tugas administratif dan konseptual, seperti analis kebijakan, pranata komputer, dan perencana program — umumnya cocok untuk WFA penuh karena berbasis dokumen dan mandiri. Tugas teknis-lapangan dan supervisi, seperti pengawas bangunan, auditor lapangan, atau manajer proyek — lebih tepat memakai model hybrid karena tetap membutuhkan kehadiran pada fase tertentu. Tugas pelayanan langsung, seperti guru, tenaga medis, atau petugas layanan perizinan — cenderung tidak cocok untuk WFA penuh karena menuntut interaksi tatap muka intensif.Segmentasi ini menuntut pimpinan birokrasi untuk lebih presisi dalam menetapkan harapan, serta lebih objektif dalam mengevaluasi hasil kerja. Di sinilah kepemimpinan berbasis kepercayaan (trust-based leadership) menjadi kunci utama.Kepemimpinan Berbasis Kepercayaan: Tantangan MentalitasPerubahan ini sejatinya bukan sekadar soal teknis atau kebijakan, tetapi juga soal pola pikir. Menggeser pendekatan dari micromanagement ke trust-based leadership adalah tantangan mentalitas yang tidak kecil—baik bagi pemimpin maupun pegawai.ASN perlu memahami bahwa akuntabilitas bukan berarti diawasi, melainkan mampu membuktikan kinerja secara bertanggung jawab. Sebaliknya, pimpinan perlu mengembangkan kapasitas untuk memimpin tanpa kontrol visual—berbasis data, dialog, dan kejelasan tujuan.Menurut OECD (2023), transisi menuju kerja fleksibel di sektor publik berisiko gagal jika tidak diiringi dengan reformasi budaya kerja secara menyeluruh. Salah satu aspek krusial adalah penguatan sistem manajemen kinerja digital yang mampu menjembatani kepercayaan dan transparansi secara simultan. OECD juga menegaskan bahwa dalam konteks pemerintahan fleksibel, akuntabilitas tidak lagi bertumpu pada mekanisme pengawasan langsung, melainkan pada sistem pelacakan kinerja yang cerdas, berbasis data, dan didukung oleh komunikasi terbuka [10].Menata Ulang Evaluasi Kinerja dalam Skema WFADalam konteks ini, sistem penilaian ASN harus berkembang. Bukan lagi sekadar mencatat aktivitas, tapi menilai capaian strategis dan nilai tambah pekerjaan. Sistem seperti e-Kinerja perlu diperkuat agar benar-benar mendukung prinsip transparansi, akuntabilitas, dan outcome-based management.“Fleksibilitas kerja yang diatur mencakup kerja dari kantor, rumah, lokasi tertentu, serta pengaturan jam kerja dinamis sesuai kebutuhan organisasi dan karakteristik tugas.”— Nanik Murwati, Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana, Kemenpan-RB [8]Beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh meliputi: Reformulasi indikator kinerja. Tidak semua pekerjaan bisa diukur secara kuantitatif; indikator naratif berbasis refleksi dan evaluasi menjadi penting. Integrasi dashboard monitoring real-time. Pengawasan bergeser dari inspeksi ke transparansi progres digital yang dapat dipantau bersama. Audit berbasis hasil, bukan rutinitas. Penghargaan diberikan pada dampak kerja, bukan pada durasi kehadiran atau banyaknya laporan.Dengan pendekatan ini, WFA tidak hanya menjadi solusi darurat atau tren sesaat, tetapi juga momentum untuk membangun birokrasi yang lebih strategis, otonom, dan adaptif terhadap tantangan zaman.Merancang Kerangka Kerja WFA yang TangguhAgar WFA menjadi sistem yang berdaya guna dan berkelanjutan, instansi perlu menyusun kerangka operasional yang adaptif namun terstandar. Setidaknya, lima komponen berikut dapat menjadi pilar: Pemetaan Jenis Tugas. Mengklasifikasikan pekerjaan berdasarkan kebutuhan kehadiran fisik, intensitas interaksi lintas fungsi, dan ketergantungan digital. Penetapan Kriteria WFA. Mencakup kesiapan individu, kesiapan teknis, dan klasifikasi pekerjaan sebagai dasar persetujuan model kerja fleksibel. Perencanaan Kinerja Fleksibel. Setiap ASN menyusun flexible work plan yang memuat target, indikator, dan waktu pelaporan secara digital. Monitoring Kinerja Digital. Dashboard e-Kinerja diperkuat untuk memantau output secara real-time dan akuntabel. Evaluasi dan Refleksi Berkala. Sesi evaluasi reguler dilakukan untuk menyesuaikan strategi kerja, mengatasi kendala, dan menjaga moral kerja.Dengan sistem ini, fleksibilitas tidak menjadi alasan melemahnya akuntabilitas, tetapi justru menjadi sarana menguatkan profesionalisme, transparansi, dan tata kelola kerja modern. Ringkasan Bagian KeduaSetelah membahas fondasi dan perubahan pola pikir yang diperlukan dalam birokrasi digital, kita akan menyelami lebih dalam aspek-aspek krusial yang membentuk birokrasi modern yang adaptif dan responsif. Bagian kedua ini akan mengulas bagaimana komunikasi digital bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan senjata strategis dalam tata kelola pemerintahan yang efektif. Kita akan melihat bagaimana platform kolaborasi terintegrasi, protokol komunikasi yang jelas, serta literasi digital Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi tulang punggung keberhasilan. Tak hanya itu, bagian ini juga akan menyoroti pentingnya menjaga koneksi emosional dalam ruang virtual demi mempertahankan semangat kebersamaan dan produktivitas.Selanjutnya, kita akan beralih pada peran vital seorang pemimpin di era birokrasi tanpa dinding. Konsep "pemimpin fleksibel" akan dibedah, menyoroti pergeseran dari micromanagement menjadi outcome-based leadership. Pemimpin kini diharapkan menjadi digital orchestrator yang mampu menggerakkan tim secara efisien dalam ekosistem digital. Aspek empati juga akan dibahas sebagai strategi kepemimpinan yang esensial, bukan sekadar sentimen. Bagian ini akan ditutup dengan kesimpulan bahwa pemimpin masa depan adalah pengarah dan transformator, bukan lagi sekadar pengawas. Akhirnya, kita akan merangkum visi birokrasi tanpa dinding sebagai jalan menuju pemerintahan masa depan sebelum masuk ke bagian penutup. Referensi[1] Az’zahra, N. D., Anggodo, S. M., & Salvina, Z. (2024). Analisis Dampak Fleksibilitas Work From Anywhere (WFA) Terhadap Kinerja ASN. Neraca: Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi, 2(5), 427–436. Diakses dari https://doi.org/10.572349/neraca.v2i5.1530atau https://jurnal.kolibi.org/index.php/neraca/article/view/1530  [2] Bailenson, J. N. (2021). Nonverbal overload: A theoretical argument for the causes of Zoom fatigue. Technology, Mind, and Behavior, 2(1). Diakses dari https://doi.org/10.1037/tmb0000030[3] Faizur, M., Khoiriani, A., & Susianti, S. (2023). Pengaruh penerapan skema Work From Anywhere (WFA) di Direktorat Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa. E‑Jurnal Perspektif Ekonomi dan Pembangunan Daerah, 12(1), 1–8. Diakses dari https://doi.org/10.22437/pdpd.v12i1.27939 atau  https://mail.online-journal.unja.ac.id/pdpd/article/download/27939/18600/106828[4] Harvard Business Review. (2025). Trust is the new control mechanism in remote teams. Harvard Business Publishing, edisi Februari 2025.[5] Kementerian PANRB. (25 Januari 2023). Menteri Anas Dorong Penguatan 'Digital Leadership' pada Closing Ceremony ASN Culture Fest. Diakses dari https://menpan.go.id/site/berita-terkini/menteri-anas-dorong-penguatan-digital-leadership-pada-closing-ceremony-asn-culture-fest [6] Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2025). Peraturan Menteri PANRB Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Tugas Kedinasan Pegawai Aparatur Sipil Negara Secara Fleksibel pada Instansi Pemerintah. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/317321/permen-panrb-no-4-tahun-2025[7] Kloepfer, S., & Carbon, C.-C. (2025). Leadership plays an important role in the functioning of remote teams, including creating conditions that can help build trust. Journal of Applied Psychology.[8] Kompas.com. (18 Juni 2025). Aturan Baru, ASN Kini Boleh WFA dan Jam Kerja Fleksibel. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2025/06/18/18362931/aturan-baru-asn-kini-boleh-wfa-dan-jam-kerja-fleksibel[9] Kompas.com. (19 Juni 2025). Ada Kebijakan Boleh WFA, ASN: Bisa Bikin "Work-Life Balance". Diakses dari https://megapolitan.kompas.com/read/2025/06/19/13130941/ada-kebijakan-boleh-wfa-asn-bisa-bikin-work-life-balance[10] OECD. (2023). Government at a Glance 2023. OECD Publishing. Diakses dari https://doi.org/10.1787/9301f5b4-en[11] Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Touchstone Books/Simon & Schuster. Diakses dari https://doi.org/10.1145/358916.361990   [12] Schein, E. H. (2010). Organizational Culture and Leadership (4th ed.). Jossey-Bass.

Pelayanan Cepat, Birokrasi Hebat

“Waktu adalah makhluk yang paling adil—ia diberikan sama kepada semua orang, tetapi hanya segelintir yang tahu cara menggunakannya.”— AnonimKutipan ini mengingatkan kita bahwa meskipun setiap individu mendapat porsi waktu yang sama, efektivitas dalam memanfaatkannya sangat bergantung pada kesadaran dan tindakan nyata. Dalam konteks birokrasi, hal ini berarti bahwa kecepatan dan ketepatan pelayanan bukan soal memiliki banyak waktu, tetapi soal kemampuan menggunakan waktu yang ada secara efisien dan tepat guna untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.Di tengah derasnya harapan masyarakat akan pemerintahan yang semakin gesit, transparan, dan berdampak nyata, birokrasi Indonesia kini berada di persimpangan penting. Pilihannya jelas: berbenah dan bergerak cepat, atau tertinggal dan kehilangan kepercayaan publik. Waktu bukan hanya menjadi pengukur efisiensi semata, melainkan cermin utama sejauh mana negara benar-benar hadir dan hadir dengan kualitas dalam kehidupan warganya. Oleh karena itu, pelayanan yang cepat—dan tentu saja prima—bukan lagi sebuah keistimewaan, melainkan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar.Namun demikian, meski sudah ada kesadaran akan pentingnya pelayanan publik yang prima, kenyataannya birokrasi sering kali masih terjebak dalam proses yang berbelit-belit dan lambat. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan sumber daya atau kemampuan teknis, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh budaya birokrasi yang kaku terhadap prosedur dan enggan mengambil risiko. Sikap kehati-hatian yang berlebihan ini, ironisnya, justru memperpanjang proses sehingga pelayanan semakin jauh dari kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya.Dua Wajah Birokrasi: Kemajuan dan TantanganPemerintah kita telah menunjukkan langkah positif, seperti Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta yang berhasil mempercepat pengurusan izin usaha dari berhari-hari menjadi kurang dari satu jam melalui digitalisasi dan penyederhanaan proses. Ini menjadi contoh nyata bahwa perubahan cepat dan signifikan bukan hanya mungkin, tetapi sudah dijalankan di beberapa daerah.Namun, tidak dapat dipungkiri masih terdapat tantangan yang harus diselesaikan bersama. Contohnya, keterlambatan penyaluran bantuan sosial (bansos) di beberapa wilayah, seperti pada awal pandemi COVID-19, menunjukkan perlunya peningkatan koordinasi dan penguatan mekanisme layanan agar bantuan tepat waktu sampai kepada masyarakat yang membutuhkan. Menyeimbangkan Rencana Besar dan Langkah KonkretBirokrasi yang lambat bukan hanya soal menumpuknya dokumen atau daftar disposisi yang tak kunjung selesai. Lebih dari itu, kondisi ini mencerminkan harapan masyarakat yang menanti — menunggu aksi nyata dari negara yang tak hanya berjanji, tapi juga bergerak secara nyata. Harapan ini bukanlah beban semata, melainkan panggilan bagi birokrasi untuk tidak hanya merencanakan apa yang harus dilakukan, tetapi juga memastikan setiap tugas yang diambil dapat dituntaskan dengan tuntas.Ruang kerja pemerintah sering dipenuhi dengan rencana strategis dan peta jalan reformasi yang tersusun rapi. Visi besar dan target ambisius tertera jelas, disertai tahapan implementasi yang detail. Namun, seperti yang diingatkan oleh Peter Marshall, “pekerjaan kecil yang selesai lebih bermakna daripada rencana besar yang hanya dibahas.” Kutipan ini mengajak kita untuk berhenti sejenak dan mempertanyakan: sudah berapa banyak langkah konkret yang benar-benar terealisasi hari ini?Seringkali birokrasi terjebak dalam paradoks: penuh dengan rencana besar, namun miskin dalam pelaksanaan. Wacana dan diskusi melimpah, tetapi tindakan nyata terhambat oleh ketakutan mengambil risiko dan sistem insentif yang belum mendorong keberanian bertindak. Inilah tantangan utama — bagaimana birokrasi dapat mulai melangkah dengan berani, mengambil tindakan kecil yang berdampak tanpa menunggu kesempurnaan atau arahan rinci dari tingkat atas.Daniel Kahneman, pemenang Nobel Ekonomi, mengingatkan bahwa manusia cenderung melebih-lebihkan pentingnya rencana besar dan meremehkan kekuatan langkah kecil yang konsisten dan terukur. Dalam konteks birokrasi, mempercepat proses perizinan dari sepuluh hari menjadi dua hari mungkin bukan sebuah revolusi besar, tetapi dampaknya sangat nyata dan langsung dirasakan oleh masyarakat.Birokrasi yang efektif tidak hanya memiliki rencana besar, tetapi juga keberanian untuk bertindak segera—memulai langkah nyata tanpa menunggu kondisi ideal. Karena waktu terus berjalan, setiap hari yang berlalu tanpa tindakan berarti peluang berharga hilang begitu saja. Oleh karena itu, perubahan harus dimulai dari sekarang, melalui langkah-langkah kecil yang dapat kita ambil hari ini.Yang terpenting, perubahan itu harus berawal dari diri sendiri. Setiap aparatur negara, dari tingkat paling bawah hingga puncak, memiliki peran penting dalam menggerakkan roda birokrasi. Ketika satu orang mengambil inisiatif untuk menyelesaikan tugas hari ini, maka inilah cikal bakal perubahan sistemik yang lebih besar. Seperti pepatah bijak mengatakan, “Perjalanan seribu mil dimulai dari satu langkah.” Mari kita mulai langkah itu dari posisi kita saat ini.Tanpa keberanian untuk bertindak segera dan menyelesaikan tugas yang ada, seluruh rencana besar hanya akan menjadi narasi tanpa wujud. Birokrasi yang kuat bukan yang sempurna dalam perencanaan, tetapi yang berani bertindak dan terus berproses secara konsisten. Memahami Dimensi Ekonomi dan Politik BirokrasiDalam pembahasan tentang lambatnya birokrasi, seringkali kita terjebak dalam narasi teknis: prosedur panjang, dokumen bertumpuk, dan alur kerja yang rumit. Namun, untuk menggali akar permasalahan secara lebih mendalam, kita perlu melihat aspek ekonomi dan politik yang melekat pada struktur birokrasi itu sendiri.Ada paradoks yang kerap tersembunyi: birokrasi yang lambat bukan semata-mata akibat keterbatasan teknis, melainkan juga bagian dari sistem yang memelihara kepentingan tertentu. Prosedur yang rumit sering kali berfungsi sebagai “penjaga pintu” yang memungkinkan praktik-praktik rent-seeking dan korupsi bertahan. Dengan demikian, perlambatan pelayanan bukan sekadar ketidakefisienan, melainkan bisa menjadi strategi terselubung yang memperkuat status quo.Di sisi lain, masyarakat sebagai pengguna layanan juga memiliki andil dalam memperkuat kompleksitas birokrasi. Banyak yang memilih jalan pintas, menghindari prosedur resmi yang dianggap lambat dan berbelit. Dalam kondisi di mana proses birokrasi memang tidak efisien dan minim transparansi, sikap ini bisa dipahami sebagai bentuk keputusasaan. Namun, pada akhirnya praktik seperti ini justru memperkuat siklus rent-seeking, di mana “pelayanan cepat” dibeli melalui jalur informal alih-alih melalui perbaikan sistem.Kenyataan di lapangan menunjukkan kuatnya daya tarik jalur cepat dalam sistem birokrasi yang lambat. Dalam kasus pemasangan sambungan listrik, misalnya, layanan bisa diperoleh hanya dalam beberapa hari setelah membayar sejumlah uang, meski syarat belum sepenuhnya dipenuhi. Sementara itu, pengguna yang mengikuti prosedur resmi kerap menunggu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tanpa kepastian. Kondisi ini mendorong masyarakat memilih jalan pintas bukan semata karena enggan menaati aturan, melainkan karena jalur resmi gagal memberikan layanan yang cepat dan adil. Sayangnya, praktik ini justru memperkuat ketergantungan pada jalur informal yang tidak transparan dan merugikan kepentingan publik.Fenomena serupa juga terlihat dalam pengurusan surat izin mengemudi. Tidak sedikit orang yang memilih membayar perantara atau “calo” agar bisa mendapatkan SIM tanpa mengikuti seluruh tahapan tes yang diwajibkan, seperti ujian teori atau praktik. Proses yang seharusnya memerlukan waktu dan kelulusan berdasarkan kompetensi bisa diselesaikan dalam hitungan jam asal ada biaya tambahan. Sementara itu, mereka yang mengikuti prosedur resmi sering kali mengeluhkan proses yang membingungkan, antrean panjang, dan ketidakjelasan standar penilaian. Akibatnya, muncul persepsi bahwa membayar lebih cepat adalah solusi praktis, meskipun praktik ini merusak integritas sistem pelayanan dan berpotensi membahayakan keselamatan publik.Studi klasik seperti yang dilakukan Krueger (1974) dan laporan World Bank (2002) menunjukkan hubungan yang kuat antara kompleksitas regulasi dan tingginya tingkat korupsi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa birokrasi yang lambat adalah produk dari struktur insentif yang belum sepenuhnya bersih dan belum mendukung budaya transparansi serta akuntabilitas.Oleh karena itu, percepatan birokrasi tidak cukup hanya dengan menyederhanakan prosedur administratif. Reformasi harus meliputi pembenahan sistem insentif dan penguatan integritas agar budaya kerja yang transparan dan akuntabel dapat tumbuh subur. Transformasi birokrasi harus menjadi gerakan holistik yang mencakup aspek teknis, budaya organisasi, dan dinamika politik ekonomi yang selama ini menjadi kendala utama.Di sinilah pentingnya keberanian memulai perubahan dari diri sendiri dan tindakan-tindakan kecil yang konsisten. Sistem yang besar hanya bisa berubah ketika individu-individu di dalamnya berani melawan kebiasaan lama dan menerapkan cara kerja yang lebih cepat, transparan, dan bertanggung jawab. Waktu sebagai Ukuran Keadilan dan PelayananWaktu sering dianggap sebagai sumber daya paling adil karena berjalan sama bagi setiap orang, tanpa memandang status atau posisi. Namun, dalam konteks pelayanan publik, waktu bukan hanya soal efisiensi, melainkan juga cermin keadilan sosial. Ketika birokrasi berjalan lambat, yang tertunda bukan hanya proses administrasi, melainkan harapan dan kepercayaan masyarakat.Benjamin Franklin pernah berujar, “You may delay, but time will not.” Ungkapan ini menyiratkan sebuah kebenaran fundamental: waktu terus berjalan tanpa menunggu siapapun. Dalam birokrasi, penundaan pelayanan sama artinya dengan memperlambat kehidupan masyarakat. Setiap menit yang hilang dalam antrean panjang, prosedur berbelit, atau proses yang tak kunjung selesai adalah waktu berharga yang diambil dari keluarga yang menanti, pelaku usaha yang ingin berkembang, serta warga yang menuntut keadilan.Ambil contoh sederhana: Rina, seorang penjual makanan rumahan di salah satu kota, harus bolak-balik mengurus surat izin usahanya. Setiap hari yang terbuang dalam proses administratif berarti potensi pendapatan yang hilang dan beban ekonomi yang semakin berat. Dalam kasus seperti ini, birokrasi yang lambat bukan hanya soal teknis, melainkan beban nyata yang menggerus daya hidup masyarakat kecil.Di balik persoalan waktu, terdapat dimensi etis yang mendalam: apakah negara benar-benar hadir untuk memudahkan kehidupan warganya? Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.” Prinsip ini menggarisbawahi bahwa setiap prosedur administratif seharusnya bukan hanya sekadar aturan, melainkan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.Robert Behn dalam The PerformanceStat Potential menegaskan bahwa laporan dan statistik tanpa tindak lanjut nyata tidak akan membawa perubahan berarti. Laporan yang berlapis-lapis tidak bisa menggantikan kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pelayanan yang berdampak langsung pada masyarakat.Dengan demikian, waktu bukan sekadar ukuran efisiensi birokrasi, melainkan ukuran keadilan sosial. Pelayanan yang cepat dan tepat waktu adalah bentuk penghormatan negara terhadap hak warga untuk mendapatkan layanan yang layak dan tepat guna. Dampak Sosial dan Ekonomi dari Birokrasi LambanBirokrasi yang berjalan lambat bukan sekadar persoalan administratif semata, melainkan masalah yang memiliki dampak luas, baik secara sosial maupun ekonomi. Data World Bank (2023) mengungkapkan bahwa rata-rata waktu pengurusan izin usaha kecil di Indonesia mencapai 11 hari—jauh lebih lama dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam yang hanya membutuhkan sekitar 6 hari, atau Malaysia yang bahkan hanya 3 hari. Perbedaan waktu ini bukan hanya soal kecepatan layanan, tapi berkaitan langsung dengan kenyamanan, kesempatan, dan keberlangsungan usaha.Ketika proses administratif menjadi hambatan, pelaku usaha harus menanggung biaya tambahan, kehilangan peluang, dan dalam beberapa kasus, memilih untuk tidak melanjutkan usahanya. Hal ini berimbas pada pertumbuhan ekonomi nasional yang menjadi kurang optimal. Bayangkan seorang pengusaha kecil yang harus menunggu hampir dua minggu hanya untuk mendapatkan izin dasar usaha—waktu yang hilang itu bisa berarti pelanggan yang pergi dan peluang bisnis yang terlewat.Data dari Ombudsman Republik Indonesia (2022) juga memperlihatkan bahwa sektor pelayanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi kependudukan menjadi bidang yang paling sering menerima keluhan masyarakat. Semua keluhan tersebut berakar dari prosedur yang kompleks dan durasi pelayanan yang panjang. Keterlambatan dalam bidang-bidang krusial ini tidak hanya menyulitkan masyarakat, tetapi juga berpotensi menurunkan kualitas hidup secara signifikan.Lebih jauh, penelitian dari LPEM UI (2021) memperkirakan bahwa birokrasi yang lamban menyebabkan kerugian ekonomi hingga 1,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahun. Angka ini menunjukkan betapa besar potensi ekonomi yang bisa dioptimalkan jika birokrasi mampu beroperasi dengan lebih cepat dan efisien.Di balik angka statistik tersebut, terdapat kisah-kisah nyata yang menggambarkan wajah birokrasi yang belum sepenuhnya hadir untuk rakyatnya. Seorang pelaku UMKM di Sidoarjo, misalnya, kehilangan kontrak ekspor karena Nomor Induk Berusaha (NIB) yang tertunda pengurusannya. Seorang ibu di Kupang harus menunggu dua minggu untuk surat keterangan tidak mampu yang sangat dibutuhkan oleh keluarganya. Cerita-cerita ini menjadi bukti konkret betapa birokrasi yang lamban bukan hanya sekadar persoalan sistem, tetapi menyangkut kesejahteraan dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Urgensi Birokrasi Responsif dan AdaptifKelambanan dalam birokrasi bukan hanya persoalan panjangnya proses, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistem dalam memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat. Contohnya, ketika bantuan untuk seorang buruh bangunan di salah satu kabupaten terlambat karena prosedur yang rumit, hal ini menunjukkan betapa pentingnya kesiapan birokrasi dalam merespons situasi kritis secara cepat.Situasi ini menegaskan betapa mendesaknya kebutuhan akan birokrasi yang responsif dan adaptif—sistem yang mampu bergerak cepat menyesuaikan diri dengan dinamika kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Bahkan langkah-langkah kecil, seperti mempercepat proses verifikasi data atau memperbaiki sistem layanan daring yang sering mengalami gangguan, dapat menjadi pintu gerbang perubahan besar.Pelayanan yang cepat dan akurat kini bukan sekadar target administratif, melainkan kewajiban moral dan sosial yang wajib dipenuhi oleh negara. Kajian terbaru dari Economic Sciences (2023) menegaskan bahwa birokrasi yang responsif tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga secara signifikan membangun kepercayaan dan legitimasi publik. Dalam era di mana perubahan terjadi dengan cepat, pemerintah harus mampu menyesuaikan diri dan menghindari terjebak dalam rutinitas kaku yang menghambat inovasi.Perubahan ini menuntut kemampuan birokrasi untuk lebih lincah, terbuka terhadap inovasi, dan berani mengambil langkah-langkah progresif tanpa menunggu kesempurnaan. Oleh sebab itu, membangun budaya kerja yang adaptif dan inovatif bukan sekadar kebutuhan, melainkan syarat mutlak agar birokrasi bisa terus relevan dan memberikan layanan yang bermakna bagi masyarakat. Membangun Budaya Kerja MelayaniBirokrasi adalah wajah negara yang langsung dijumpai masyarakat. Ketika tampil cepat, tanggap, dan berorientasi pada solusi, kepercayaan publik akan semakin kokoh dan negara benar-benar hadir bagi warganya. Oleh karena itu, membangun budaya kerja yang efektif dan bermakna menjadi fondasi utama dalam reformasi birokrasi.Pertama, penetapan target kerja harian yang jelas sangat penting agar setiap pegawai memiliki fokus dan tujuan yang terukur. Dengan sasaran yang konkret, kinerja dapat dipantau dan hasilnya terlihat secara nyata. Kedua, memberikan kewenangan lebih besar kepada petugas di lapangan untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah secara langsung dapat memangkas birokrasi berbelit dan mempercepat pelayanan. Ketiga, pemangkasan prosedur yang tidak esensial harus dilakukan agar proses kerja menjadi lebih sederhana dan efisien.Ketiga langkah tersebut perlu menjadi bagian dari rutinitas kerja agar perubahan dapat berjalan secara konsisten dan berkelanjutan. Peran pimpinan birokrasi juga sangat strategis dalam menciptakan iklim yang mendorong inovasi dan keberanian bertindak. Dukungan dari kebijakan yang melindungi pegawai saat mengambil keputusan menjadi kunci agar rasa takut gagal tidak menghambat kreativitas.Digitalisasi layanan kini menjadi tulang punggung percepatan birokrasi. Sistem pelayanan daring, pengaduan responsif, serta integrasi data antarinstansi memungkinkan proses berjalan lebih cepat dan transparan. Namun, efektivitas teknologi ini sangat bergantung pada kesiapan sumber daya manusia dan pemerataan infrastruktur, khususnya di daerah-daerah terpencil.Budaya birokrasi yang terlalu berhati-hati dan prosedur yang hierarkis serta kaku masih menjadi hambatan utama dalam mewujudkan pelayanan prima. Karena itu, reformasi menyeluruh harus mencakup penyederhanaan organisasi, peningkatan kapasitas SDM, serta penerapan sistem penghargaan berbasis hasil nyata.Untuk membangun birokrasi yang adaptif dan inovatif, diperlukan ekosistem yang mendukung kolaborasi lintas unit kerja, pengambilan keputusan yang cepat dan berbasis data, serta kepemimpinan transformatif. Keseimbangan antara akuntabilitas dan kepercayaan kepada pegawai menjadi kunci agar inovasi dapat tumbuh subur tanpa terhambat oleh birokrasi yang kaku.Kebijakan Work From Anywhere (WFA) merupakan inovasi yang potensial memperkuat budaya kerja berbasis hasil dan kepercayaan, sekaligus meningkatkan produktivitas dan jangkauan pelayanan. Keberhasilan WFA sangat tergantung pada budaya birokrasi yang kuat dan orientasi pada output nyata, bukan hanya kehadiran fisik semata.Membangun budaya kerja yang responsif dan inovatif bukanlah proses instan, melainkan perjalanan berkelanjutan yang memerlukan komitmen dari seluruh jajaran birokrasi—dari pimpinan tertinggi hingga pegawai di lapangan. Dengan semangat bertindak cepat dan inisiatif pribadi, setiap langkah kecil yang diambil hari ini akan menjadi fondasi bagi transformasi besar menuju pelayanan publik yang bermakna dan berdampak luas. PenutupBirokrasi adalah wajah negara yang langsung ditemui rakyat. Jika tampil cepat, tanggap, dan berorientasi solusi, kepercayaan publik menguat dan negara hadir nyata untuk rakyat. Kita tidak perlu menunggu sistem sempurna untuk mulai bertindak. Satu langkah kecil yang bermanfaat hari ini adalah kemajuan besar. Bayangkan jika jutaan ASN melakukan hal tersebut setiap hari—pelayanan publik akan berbuah manis dan merata.Setiap detik yang dihabiskan dalam pelayanan adalah peluang untuk menyentuh kehidupan, mewujudkan kesejahteraan, dan membangun kepercayaan. Oleh karena itu, sangat relevan kita renungkan firman Allah SWT dalam QS al-‘Ashr yang menegaskan, “Demi waktu (Ashar). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa waktu adalah amanah yang sangat berharga, dan keberhasilan dalam memanfaatkannya tergantung pada iman, amal nyata, serta kebersamaan dalam menegakkan kebenaran dan kesabaran.Mari mulai dari diri sendiri dan unit kerja kita dengan langkah nyata hari ini, karena perubahan besar lahir dari keberanian bertindak kecil dan urgensi yang tidak tertunda. Penulis: Yudianto, Pranata Komputer Ahli Madya di Biro Umum

Herbarium Temulawak Didorong Menjadi Warisan Dokumenter Dunia: Kemenkes dan ANRI Siap Ajukan ke MOWCAP

Tawangmangu, 3–4 Juli 2025 — Kementerian Kesehatan melalui Biro Umum bersama Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menggelar kunjungan dan rapat koordinasi di Unit Pelaksana Fungsional (UPF) Yankestrad Tawangmangu, RSUP Dr. Sardjito. Kegiatan ini merupakan bagian dari persiapan pengajuan Arsip dan Manuskrip Herbarium Temulawak ke dalam registrasi Memory of the World Committee for Asia and the Pacific (MOWCAP) UNESCO.Kegiatan yang berlangsung secara luring ini bertujuan untuk menominasikan Arsip Herbarium Temulawak—yang memuat pengetahuan lokal dan teknologi pengolahan tumbuhan obat Indonesia—agar mendapat pengakuan sebagai warisan dokumenter tingkat Asia Pasifik.Dalam kegiatan ini dihadiri antara lain Kepala ANRI Dr. Mego Pinandito, Kepala Biro Umum Kementerian Kesehatan Sjamsul Ariffin, Direktur Layanan dan Pemanfaatan Arsip ANRI Eli Ruliawati, serta sejumlah pejabat dari RSUP Dr. Sardjito, BRIN, dan unit-unit pendukung lainnya.Dalam sambutannya, Kepala Biro Umum Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa pengajuan ini diharapkan menjadi tonggak penting untuk memperkuat kiprah kearsipan Kementerian Kesehatan di tingkat internasional. “Kami berharap Herbarium Temulawak dapat menjadi ikon Indonesia, sebagaimana ginseng menjadi simbol Korea,” ujar Sjamsul.Sementara itu, Kepala ANRI menegaskan dukungan penuh terhadap inisiatif ini. Ia menyampaikan bahwa proses penominasian ke MOWCAP merupakan bagian dari agenda dua tahunan yang membutuhkan kelengkapan dokumen dan keterlibatan tim ahli internasional. Ia juga menyampaikan bahwa setelah penetapan, pemilik arsip wajib melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk memperluas akses terhadap warisan dokumenter tersebut.Kegiatan dilanjutkan dengan kunjungan langsung ke Kebun Aromatik Tlogodringo di lereng Gunung Lawu, tempat budidaya asli tanaman temulawak. Peserta juga meninjau naskah kuno dan hasil riset terkait yang menjadi bagian dari arsip.Sebagai langkah tindak lanjut, Kementerian Kesehatan akan segera menyempurnakan dokumen internal, melengkapi berkas joint nomination bersama Korea Selatan dan Timor Leste, serta menyiapkan pengisian formulir registrasi MOWCAP yang ditargetkan selesai sebelum 8 Agustus 2025.Indonesia juga dijadwalkan menjadi tuan rumah General Meeting MOWCAP tahun 2026 di Jakarta, di mana selain Temulawak, arsip Jalur Perdagangan Batik Lasem juga akan diajukan.Langkah ini menunjukkan komitmen Kementerian Kesehatan dalam pelestarian pengetahuan tradisional berbasis ilmiah serta peningkatan peran aktif Indonesia dalam diplomasi arsip dan budaya.Foto kegiatan kunjungan Kepala ANRI ke UPF Yankestrad Dr. Sardjito, TawangmanguKepala Arsiparis Nasional Republik Indonesia (ANRI) : Dr. Mego Pinandito, M.Eng memberikan cindera mata kepada Kepala Biro Umum Kementerian Kesehatan : Sjamsul Ariffin, SKM., M.Epid dalam acara kunjungan Kepala ANRI di UPF Pelayanan Kesehatan Tradisonal RSUP Dr Sardjito, DI Yogyakarta pada tanggal 4 Juli 2025Herbarium temulawak yang dipamerkan dalam kunjungan Kepala ANRI di UPF Pelayanan Kesehatan Tradisonal RSUP Dr Sardjito, DI Yogyakarta pada tanggal 4 Juli 2025Verifikasi Herbarium Temulawak oleh Kepala ANRI : Dr. Mego Pinandito, M.Eng dalam kunjungan ke UPF Pelayanan Kesehatan Tradisonal RSUP Dr Sardjito, DI Yogyakarta pada tanggal 4 Juli 2025 dalam rangka verifikasi Herbarium Temulawak yang diajukan ke tingkat Asia Pasific (MOWCAP) didampingi Kepala Biro Umum Kementerian Kesehatan, Kepala UPF Pelayanan kesehatan Tradisional Dr. Sardjito, Arsiparis Ahli Utama Kementerian Kesehatan, Peneliti BRIN dalam memberikan penjelasan singkat

Kemenkes RI Gelar Webinar Tugas dan Fungsi Jabatan Fungsional Pustakawan dan Asisten Perpustakaan

Jakarta, 4 Juli 2025 — Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan RI menyelenggarakan Webinar Pengenalan Tugas dan Fungsi Jabatan Fungsional Pustakawan dan Asisten Perpustakaan, Jumat (4/7). Kegiatan ini dilaksanakan secara daring, bersama dengan Bapelkes Batam sebagai fasilitator. Acara ini diikuti oleh 22 CPNS Pustakawan dan 3 Asisten Pustakawan tahun 2025 di lingkungan Kementerian Kesehatan RI.Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya Kementerian Kesehatan dalam memperkuat peran pustakawan sebagai salah satu pilar penting dalam sistem informasi dan pengetahuan di bidang kesehatan.Acara dibuka secara resmi oleh Aji Muhawarman, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan RI. Dalam sambutannya, Aji menegaskan bahwa keberadaan pustakawan tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka adalah garda terdepan dalam pengelolaan informasi kesehatan, memastikan data dan literatur yang akurat serta terpercaya dapat diakses dengan mudah oleh pengambil kebijakan, peneliti, maupun masyarakat.“Pembangunan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan fasilitas dan teknologi, tetapi yang lebih fundamental adalah kualitas dan dedikasi sumber daya manusianya, termasuk mereka yang mengelola ilmu pengetahuan dan informasi,” ujar Aji. Ia juga berpesan agar seluruh peserta memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya, terus meningkatkan kompetensi, dan senantiasa beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat.Webinar ini menghadirkan dua narasumber kompeten, yaitu Giri Inayah, Ketua Tim Kerja Pengelolaan Perpustakaan Kementerian Kesehatan RI, dan Jeni Helen Chronika Sitorus, Pustakawan Ahli Madya di lingkungan Kementerian Kesehatan RI.Giri Inayah memaparkan materi terkait Pengelolaan Perpustakaan Kementerian Kesehatan, mulai dari struktur organisasi Kemenkes, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, hingga pengelolaan bahan pustaka menggunakan klasifikasi Medical Subject Headings (MeSH). Ia juga memaparkan target Grand Design pengembangan perpustakaan, aplikasi penunjang layanan, serta produk hukum Kementerian Kesehatan yang menjadi keunggulan tersendiri, yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2015, 38 Tahun 2015, dan 68 Tahun 2016, yang hingga saat ini belum dimiliki oleh kementerian/lembaga lain di Indonesia.Tak hanya itu, Giri juga memperkenalkan sejumlah inovasi layanan perpustakaan yang telah diakui secara internasional, seperti “Gerobak Buku, Baca Aku Dong”, layanan sirkulasi buku ke ruang perawatan di RS Dr. Kariadi, serta “Sikola di Lao”, program milik Perpustakaan Poltekkes Kendari terkait literasi untuk anak-anak di wilayah pesisir Soropia. Ia menekankan bahwa arah pengembangan pustakawan ke depan adalah mendorong lahirnya Medical Librarian, pustakawan yang aktif berkontribusi dalam mendukung layanan kesehatan berbasis pengetahuan.Sesi berikutnya dilanjutkan oleh Jeni Helen Chronika Sitorus, yang membahas mengenai Kompetensi Teknis Pustakawan. Materi yang disampaikan meliputi definisi pustakawan dan perpustakaan, jenjang jabatan fungsional pustakawan dan asisten perpustakaan, hingga kompetensi yang harus dimiliki sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 236 Tahun 2019 tentang Penetapan Standar Kerja Nasional Indonesia Bidang Perpustakaan. Selain itu, Jeni juga mengupas aspek penting seperti akreditasi, butir kegiatan jabatan fungsional, pedoman pelayanan, literasi informasi, hingga sertifikasi pustakawan sebagai bagian dari peningkatan profesionalisme.Webinar ini dimoderatori oleh Desy Ariani Gultom, widyaiswara dari Bapelkes Batam. Melalui kegiatan ini, diharapkan seluruh peserta dapat memahami secara utuh tugas dan tanggung jawab dalam jabatan fungsional pustakawan maupun asisten perpustakaan, sekaligus terus meningkatkan kapasitas diri dalam memberikan layanan informasi kesehatan yang akurat, terpercaya, dan mudah diakses oleh insan Kementerian Kesehatan RI maupun masyarakat luas.Berita ini disiarkan oleh Perpustakaan Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Instagram resmi @perpustakaankemenkes. 

Kemenkes dan Dispusip DKI Jakarta Gelar Workshop Basic of Information Literacy

Jakarta, 19 Juni 2025 —  Sebanyak 40 pustakawan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di Prov. DKI Jakarta mengikuti kegiatan kolaborasi Workshop Basic of Information Literacy yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, di Jakarta (19/6). Pelayanan literasi informasi merupakan keahlian yang perlu dimiliki pustakawan, termasuk pustakawan Kementerian Kesehatan. Untuk itu,  Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta sebagai pembina perpustakaan di wilayah DKI Jakarta menyelenggarakan Workshop Basic of Information Literacy, bertempat di ruang rapat Ditjen Sumber Daya Manusia Kesehatan di Jakarta, Kamis (19/6). Acara ini diikuti oleh para pustakawan Kemenkes di Jakarta, berasal dari rumah sakit vertikal, politeknis kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan kantor pusat. Acara ini diawali dengan sambutan oleh Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik, Aji Muhawarman. Disampaikan bahwa pustakawan tidak lagi hanya menjadi penjaga buku, tetapi juga menjadi navigator informasi—mengarahkan pemustaka pada sumber yang benar, akurat, dan relevan. “Dalam dunia yang dibanjiri informasi, kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan memanfaatkan informasi secara bijak adalah fondasi utama bagi kemajuan individu dan masyarakat. Ia bukan sekadar keterampilan, melainkan kompetensi esensial yang membimbing kita menuju kebenaran dan keadilan”, tambah Aji Muhawarman.Kepala Bidang Pembinaan Perpustakaan dan Peningkatan Kegemaran Membaca, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta, Suryanto, membuka acara ini dan berpesan agar peserta.dapat memanfaatkan pertemuan ini dengan optimal dan kelanjutan kerja sama antara Kementerian Kesehatan RI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat terus dilakukan.Dhama Gustiar Baskoro selaku narasumber acara ini mengajak semua peserta merupakan wujud dari program pembinaan perpustakaan khusus di lingkungan kementerian/lembaga yang rutin dilaksanakan untuk memperkuat kapasitas SDM pustakawan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman dasar Pustakawan Kementerian Kesehatan RI terkait literasi informasi. Para peserta dibekali pengetahuan mengenai pentingnya kemampuan menemukan, mengevaluasi, dan memanfaatkan informasi secara tepat, khususnya dalam mendukung layanan informasi di Perpustakaan Kemenkes RI. Setelah dilakukan pembekalan, narasumber menguji kemampuan peserta melalui pre-test. Salah satu materi utama yang menjadi sorotan dalam pre-test tersebut adalah teknik pencarian informasi efektif menggunakan boolean logic dan sintaks pencarian. Selain daripada itu, diperkenalkan juga MeSH (Medical Subject Headings) yang menjadi dasar penting yang harus dikuasai pustakawan dalam mendukung layanan informasi, terutama di bidang kesehatan. Dengan pembekalan tersebut, diharapkan Pustakawan Kementerian Kesehatan dapat menerapkan literasi informasi sebagai medium untuk terciptanya budaya kerja baru yang lebih efektif, efisien, inovatif, kolaboratif, dan berorientasi pelayanan unggul. Kementerian Kesehatan RI berkomitmen untuk terus meningkatkan kapasitas pustakawan sebagai bagian dari upaya memperkuat layanan informasi kesehatan yang akurat, terpercaya, dan mudah diakses oleh insan Kemenkes dan tentunya masyarakat.Berita ini disiarkan melalui Perpustakaan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Informasi lebih lanjut hubungi kami di Instagram @perpustakaankemenkes